Rabu, 09 November 2016

Makalah Periodisasi Balai Pustaka

PERIODISASI BALAI PUSTAKA

Disusun Oleh

Ribka Sitorus                 16110003
Qorry Sinaga                 16110004
Neva Loveina Sitorus    16110030
Oktalia L.Tobing          16110038


Mata Kuliah                  : Sejarah Sastra
Dosen Pengasuh            : Vita Riahni Saragi, M.Pd
Grup                               : A

Hasil gambar untuk universitas nomensen
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas HKBP Nomensen Pematangsiantar

2016


KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Esa atas segala rahmatNya sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.

    Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.

    Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini, oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.






                                                                                                Pematangsiantar, Oktober 2016



                                                                                               Penyusun


  
DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR           ………………………………………………………………  i

DAFTAR ISI              …………………………………………………………………….....ii

BAB I PENDAHULUAN     …………………………………………………………….....1
.
1.1  Latar Belakang Masalah         ….…………………………………………………....1

1.2  Rumusan Masalah       ..…...…………………………….…………………………...4

1.3  Tujuan             …..…………………………………………………………………...4

BAB II LANDASAN TEORI/PEMBAHASAN      ….…………………………………....5

2.1  Sejarah Berdirinya Balai Pustaka        …………………………………………….....5

2.2  Alasan disebut sebagai Balai Pustaka ……………………………………………...7

2.3  Cara mengetahui Karakteristik karya Sastra   ………………………………………8

2.4  Pengarang dan Karya Sastra Periodisasi Balai Pustaka   ………………………….10

2.5  Tugas Balai Pustaka    ……………………………………………..………………21


BAB III PENUTUP ……………………………………………………………….……...25

3.1  Simpulan …………………………………………………………………………..25

3.2 Saran  ………………………………………………………………………..…….26

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………......27

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Balai Pustaka merupakan salah satu penerbit besar yang banyak memproduksi berbagai jenis buku. Berdiri pada tahun 1917 yang merupakan pengukuhan komisi untuk sekolah Bumi Putera dan bacaan rakyar(commisie voor de in landsche school en volkslectur) didirikan oleh pemerintah kolonial belanda pada 14 september 1908. Di negeri nusantara ini banyak sekali orang yang berkecimpung didunia sastra. Namun realitanya banyak juga orang yang buta tentang ilmu sastra dan kajian didalam sastra itu sendiri, baik sastra secara umum atau sastra secara khusus yang sudah bersentuhan dengan kebudayaan nasional yang arif di negeri nusantara ini atau yang selama ini disebut juga dengan sastra indonesia.
Sastra merupakan suatu kata yang sampai saat ini belum ada yang mampu menafsirkan secara tepat tentang pengertiannya, bahkan kata tersebut sampai saat ini masih menjadi bahan pertanyaan para ilmuan demi untuk mencari keselarasan pengertian yang tepat. Menurut Teeuw (2002: 23) kata sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa sansekerta; akar kata sas- dalam kata kerja turunan berarti mengarahkan, mengajarkan, memberi petunjuk atau instruksi. Akhiran –tra biasanya menunjukkan alat, sarana. Maka, berdasarkan penggabungan tersebut sastra dapat berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau alat pengajaran.
Kalau kita berbicara tentang sastra dan karya sastra, maka tidak akan terlepas dari angkatan dan penulisan sejarah sastra Indonesia, juga karakteristik wawasan estetikanya. Hal itu disebabkan karena sastra (Kesusastraan) dari waktu-kewaktu pasti akan mengalami perkembangan sesuai periode-periode sastra. Rangkaian periode-periode sastra itu saling bertumpang-tindih, maksudnya sebelum angkatan kemarin atau angkatan lama lenyap, maka timbul benih-benih baru yang lebih kritis dan kreatif.
Setiap angkatan dalam suatu periodisasi sastra pasti memiliki karakteristik tersendiri. Jadi tidak menutup kemungkinan kalu kita melihat terlebih dahulu tentang pengertian kata karakteristik. Karakteristik berasal dari kata dasar karakter. Menurut Poerwadarminta (1984: 445) karakter adalah tabiat, watak, sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa karakteristik dalam sastra adalah sifat yang membedakan suatu karaya sastra dengan karya sastra yang lain. Apabila dihubungkan dengan suatu angkatan maka karakteristik sastra angkatan balai pustaka adalah sifat-sifat yang membedakan baik karya sastra maupun pengarangnya dalam satu angkatan itu dengan angkatan yang lain, jadi bukan semata-mata hanya satu karya sastra saja, melainkan keseluruhan karya sastra dalam suatu angkatan tesebut.
Seperti yang telah kita ketahui, definisi karya sastra adalah suatu karya yang mengandung nilai seni dan mengarah kepada pedoman-pedoman serta pemikiran-pemikiran hidup. Sedangkan Sastra Indonesia sendiri dapat merujuk pada sastra yang dibuat di wilayah Kepulauan Indonesia. Sering juga secara luas dirujuk kepada sastra berbahasa akarnya, yakni bahasa melayu.
Sastra di Indonesia sudah ada sejak dulu sekali bahkan mungkin sudah ada sejak zaman purbakala dimana manusia-manusia purba memulai untuk menggambar dan menulis sesuatu di dalam gua-gua, sehingga menghasilkan karya-karya sastra. Tetapi karya-karya tersebut kemudian menghilang karena perkembangan zaman yang mungkin kurang maju. Lebih pastinya karya sastra di Indonesia dimulai sejak zaman “Angkatan Pujangga Lama” sebelum abad ke-20. Pada masa ini karya sastra Indonesia didominasi oleh karya-karya sastra berbahasa akar (bahasa melayu), seperti syair, pantun, gurindam, dan hikayat. Budaya melayu klasik dan pengaruh Islam yang kuat mempengaruhi sebagian besar wilayah pesisir pantai Sumatera dan Semenanjung Malaya. Setelah adanya “Angkatan Pujangga Lama”, muncul lah “Angkatan Sastra Melayu Lama” yang muncul antara sekitar tahun 1870-1942. Setelah “Angkatan Sastra Melayu Lama”, muncul lah “Angkatan Balai Pustaka” yang akan saya bahas dalam makalah ini.
Sebenarnya angkatan ini dipelopori oleh sebuah penerbit “Balai Pustaka” pada tahun 1920-1950. Karya ini terdiri dari prosa (roman, cerita pendek, novel, dan drama) dan puisi yang menggantikan syair, pantun, gurindam, dan hikayat yang mungkin pada masa itu terlalu memberi pengaruh buruk, banyak menyoroti kehidupan cabul, dan dianggap memiliki misi politis. Balai Pustaka menerbitkan karya dalam tiga bahasa yaitu bahasa Melayu-Tinggi, bahasa jawa dan bahasa sunda, dan dalam jumlah terbatas dalam bahasa bali, bahasa batak, dan bahasa Madura.
Pada masa ini, novel Siti Nurbaya dan Salah Asuhan menjadi karya yang cukup penting. Keduanya menampilkan kritik tajam terhadap adat-istiadat dan tradisi kolot yang membelenggu. Dalam perkembangannya, tema-tema inilah yang banyak diikuti oleh penulis-penulis lainnya pada masa itu. Tidak hanya itu juga, banyak karya-karya sastra menarik dan cukup mengilhami pada Angkatan Balai Pustaka, seperti Azab dan Sengsara (Merari Siregar, 1920), Ken Arok dan Ken Dedes (Muhammad Yamin, 1934), Sengsara Membawa Nikmat (Tulis Sutan Sati, 1928), dll.
Pada masa Angkatan Balai Pustaka, Nur Sutan Iskandar dapat disebut sebagai "Raja Angkatan Balai Pustaka" oleh sebab banyak karya tulisnya pada masa tersebut. Apabila dilihat daerah asal kelahiran para pengarang, dapatlah dikatakan bahwa novel-novel Indonesia yang terbit pada angkatan ini adalah "novel Sumatera", dengan Minangkabau sebagai titik pusatnya. Angkatan Balai Pustaka bisa disebut masa dimana proses modernisasi karya-karya sastra terjadi. Dimana tidak lagi terpaut oleh budaya-budaya melayu yang kental.
Balai Pustaka merupakan suatu angkatan yang sangat berpengaruh kepada perkembangan perpustakaan baru terutama yang tertulis dengan huruf latin (Usman, 1979: 15). Hal itu tercermin dengan pindahnya pusat perhatian orang-orang yang berminat kepada kesusastraan ke Balai Pustaka (Jakarta) yang berpengaruh pada perkembangan bahasa dari bahasa melayu baru (yang banyak dipengaruhi oleh bahasa-bahasa daerah dan bahasa surat kabar) kemudian menjelma menjadi bahasa Indonesia.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa dengan munculnya angkatan Balai Pustaka maka telah membuka hati para penulis untuk mau memperlihatkan hasil karyanya yang dulunya menggunakan bahasa daerah kemudian beralih menggunakan bahasa Indonesia sebagai ungkapan rasa bangga berbangsa Indonesia. Saelain itu, dengan munculnya angkatan Balai Pustaka maka telah membuka semangat dan kesadaran para penulis untuk mempersatukan daerah-daerahnya demi keutuhan bangsa Indonesia. Disisi lain Balai Pustaka juga dikenal sebagai nama suatu penerbit besar yang berdiri pada sekitar tahun 1920an yang pada tahun tersebut beriringan dengan munculnya angkatan Balai Pustaka. Munculnya angkatan Balai Pustaka memang disesuaikan dengan karya-karya besar yang terkenal pada waktu itu yang sebagian besar diterbitkan dari penerbit Balai Pustaka Jakarta. Berbicara mengenai periodisasi sastra khususnya Balai Pustaka maka tidak menutup kemungkinan kalau meninjau tentang keadaan sosial pada tahun 1920an, dimana menurut Teeuw (1980: 15) pada tahun tersebut merupakan tahun lahirnya kesusastraan Indonesia modern. Pada waktu itu para pemuda indonesia mulai menyatakan perasaan dan ide yang berbeda dengan masyarakat setempat. Perasan itu dituangkan dalam bentuk sastra namun menyimpang dari bentuk sastra melayu, jawa, dan sastra-sastra lain sebelumnya.


1.2 Rumusan masalah

Berdasarkan permasalan yang telah diungkapkan dalam latar belakang masalah, maka penulis ingin mengantarkan rumusan masalah sebagai berikut:
a. Sebutkan sejarah berdirinya periode balai pustaka atau periode tahun 20-an ?
b. Mengapa disebut angkatan balai pustaka ?
c. Bagaimana cara mengetahui karakteristik karya sastra yang tergolong masa
    periodisasi balai pustaka ?
d. Sebutkan pengarang dan karya sastra yang termasuk pada masa balai pustaka ?
e. Apa sebenarnya tugas dari Balai Pustaka ?

1.3 Tujuan
            Tujuan utama makalah “Periodisasi Balai Pustaka” yaitu untuk mengetahui periodisasi balai Pustaka dan tokoh-tokoh yang ada pada periodisasi tersebut, karya-karya sastra dan para sastrawannya .

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Berdirinya Balai  Pustaka
Karya sastra di Indonesia sejak tahun 1920 – 1950, yang dipelopori oleh penerbit Balai Pustaka. Prosa (roman, novel, cerita pendek dan drama) dan puisi mulai menggantikan kedudukan syair, pantun, gurindam dan hikayat dalam khazanah sastra di Indonesia pada masa ini. Balai Pustaka didirikan pada masa itu untuk mencegah pengaruh buruk dari bacaan cabul dan liar yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki misi politis (liar). Balai Pustaka menerbitkan karya dalam tiga bahasa yaitu bahasa Melayu-Tinggi, bahasa Jawa dan bahasa Sunda; dan dalam jumlah terbatas dalam bahasa Bali, bahasa Batak dan bahasa Madura.
Dengan ditandatanganinya Tractat van London (Perjanjian London) tahun 1824, jelaslah terpisah Malaysia dan Singapura yang sekarang dengan Indonesia. Raffles yang tadinya masih bercokol di Bengkulu harus pindah ke Singapura. Semenjak saat itu aktivitas bahasa dan sastra terpecah dua. Di Indonesia berpusat di Batavia (Jakarta)  sedang di Malaysia dan di Singapura berpusat di Kuala Lumpur dan Singapura, semenjak masa inilah kedua pusat kegiatan bahas dan sastra itu berkembang menurut kondisi dan situasi masing-masing. Di Indonesia sebagai akibat pelaksanaan etische-politick ( politik etis atau politik balas jasa) yang pada waktu itu ramai dibicarakan di Nederland maupun di Indonesia, maka diusahakanlah aktivitas di tiga bidang yakni :
Di bidang irigasi , Belanda mulai membuat pengairan -  pengairan, walaupun pengairan- pengairan itu diadakan didaerah-daerah yang menguntungkan untuk daerah perkebunan yang jadi milik odernemer Belanda.
Di bidang transmigrasi, Belanda memindahkan rakyat dari daerah yang padat kedaerah yang jarang penduduknya, tapi sebenarnya juga hanya memindahkan penduduk ke daerah- daerah perkebunan, yaknin daerah yang memerlukan tenaga kerja yang murah untuk menjadi buruh perkebunan.
Di bidang edukasi, mulailah didirikan sekolah-sekolah. Untuk tamatan sekolah-sekolah inilah didirikan suatu badan yang disebut ”commisie voor de inlandsche school en volkslectuur” (Komisi untuk sekolah-sekolah bumi Putra dan Bacaan Rakyat_ yang didirikan tahun 1908. Disamping hal tersebut diatas ada unsur ketakutan pada pemerintah Belanda waktu itu akan berpengaruh buruk dari bacaan yang sudah mulai bermunculan baik cetakan dalam negeri maupun luar negeri. Belanda memang juga menyadari bahwa dengan mendirikan banyak sekolah-sekolah dan dengan banyaknya bacaan dalam masyarakat, bisa membahayakan kedudukan mereka. Hal ini jelas dikemukakan oleh kepala Balai Pustaka Dra. A. Rinkes “ hasil pengajaran itu boleh juga mendatangkan bahaya, kalau orang yang telah tahu membaca itu mendapat kitab-kitab bacaan yang berbahaya yang dari saudagar kitab yang kurang suci hatinya dan dari orang-orang yang bermaksud hendak mengacau. Oleh sebab itu bersamaan dengan pengajaran itu, maka haruslah diadakan kitab-kitab bacaan yang memenuhi kegemaran orang kepada membaca dan mengajukan pengetahuannya, seboleh-bolehnya menurut tertib dunia sekarang. Dalam usaha itu harus dijauhkan segala yang dapat merusakkan kekuasaan pemerintah dan ketentraman negeri”
Selama pemerintahan Hindia-Belanda Balai Pustaka dipimpin oleh seorang amtenar kepala (hoofdambtenaar), dan terkenallah nama Dr. D.A. Rinkes, Dr. GWJ Drewes, dan Dr. KA. Hidding. Sedangkan tokoh-tokoh sastrawan Indonesia yang bekerja cukup lama di Balai Pustaka ialah Adi  Negoro, Nur Sutan Iskandar, Sutan Takdir Alisyahbana, Armyn Pane, K. Sutan Pamuncak, A. Dt. Mojoindo, Sutan Perang Bustami, H.B Yassin, dan Idrus.
Angkatan kesusastraan Indonesia balai pustaka, dimulai penghitungannya dari tahun 1920.  Kelompok ini disebut dengan angkatan balai pustaka karena pada masa tersebut buku-buku sastra pada umumnya diterbitkan oleh penerbit balai pustaka. Lahirnya angkatan balai pustaka pada kesusastraan Indonesia dilakukan untuk mengurangi pengaruh buruk kesusastraan melayu yang dianggap terlalu cabul dan liar pada masa itu. Pada angkatan balai pustaka ini, karya sastra yang dipublikasikan oleh penerbit merupakan karya-karya yang amat memelihara perbahasaannya, berbeda dengan karya sastra lainnya dengan penggunakan bahasa sehari-hari sebagai bahasa pengantar sastranya dan bahkan tidak jarang di antara karya sastra tersebut yang masih menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar sastra yang mereka hasilkan.
Pada angkatan balai pustaka, kesusastraan Indonesia lebih bercorak Minangkabau. Hal ini terjadi karena kebanyakan editor yang ada pada masa balai pustaka memang berasal dari Sumatra Barat. Masa ini adalah masa ketika penulis dan editornya lebih banyak berdarah Sumatra, maka bisa dibilang angkatan ini lebih banyak menghasilkan karya-karya kesumatraan. Selain disebut sebagai angkatan balai pustaka, karya-karya yang lahir pada masa angkatan kesusastraan ini juga disebut dengan angkatan dua puluh. Titik awal angkatan balai pustaka dimulai ketika terbitnya roman Azab dan Sengsara oleh Merari Siregar, yang disebut juga sebagai awal kebangkitan angkatan balai pustaka. Karyanya Azab dan Sengsara memang lebih banyak menggunakan Bahasa Melayu dibandingkan dengan Bahasa Indonesia, karena pada masa itu bahasa Indonesia masih mengalami perkembangan. Namun, bukan berarti karya Merari ini tidak dapat diklasifikasikan sebagai karya sastra Indonesia, karena prinsip dasar sastra Indonesia adalah karya-karya yang dijiwai oleh semangat nasionalisme Indonesia. Karya sastra di Indonesia sejak tahun 1920 – 1950, yang dipelopori oleh penerbit Balai Pustaka. Prosa (roman, novel, cerita pendek dan drama) dan puisi mulai menggantikan kedudukan syair, pantun, gurindam dan hikayat dalam khazanah sastra di Indonesia pada masa ini. Balai Pustaka didirikan pada masa itu untuk mencegah pengaruh buruk dari bacaan cabul dan liar yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki misi politis (liar). Balai Pustaka menerbitkan karya dalam tiga bahasa yaitu bahasa Melayu-Tinggi, bahasa Jawa dan bahasa Sunda; dan dalam jumlah terbatas dalam bahasa Bali, bahasa Batak dan bahasa Madura.

2.2 Alasan Disebut Sebagai Balai Pustaka
Balai Pustaka disebut angkatan 20an atau populernya dengan sebutan angkatan Siti Nurbaya. Menurut Sarwadi (1999: 25) nama Balai Pustaka menunjuk pada dua pengertian:
1. sebagai nama penerbit
2. sebagai nama suatu angkatan dalam Sastra Indonesia
Menurut Sarwadi (1999: 27) Balai Pustaka mempunyai pengaruh terhadap perkembangan sastra Indonesia yaitu dengan keberadaanya maka sastrawan Indonesia dapat melontarkan apa yang menjadi beban pikirannya melalui sebuah tulisan yang dapat dinikmati oleh dirinya sendiri dan juga orang lain (penikmat sastra). Balai Pustaka mempunyai tujuan untuk memberikan konsumsi berupa bacaan kepada rakyat yang berisi tentang politik pemerintahan kolonial, sehingga dengan hal itu Balai Pustaka telah memberikan informasi tentang ajaran politik kolonial. Berdasarkan penyataan tersebut maka dengan didirikannya Balai Pustaka telah memberikan manfaat kepada rakyat Indonesia karena sasrta Indonesia menjadi berkembang. Dilihat dari perkembangan sastranya, Balai Pustaka yang memiliki maksud dan tujuan pendiriannya, maka pasti menetapkan persyaratan-persyaratan didalam menyaring suatu karya sastra. Dengan adanya persyaratan-persyaratan tersebut maka
menimbulkan berbagai macam pandangan orang terhadap Balai Pustaka. Hal itu merupakan suatu kelemahan atau permasalahan dari balai Pustaka yang kurang diperhatikan keberadaannya. Menurut Sarwadi (1999: 29) permasalahan itu diantanya meliputi: 
            a. Roman terpenting yang diterbitkan Balai Pustaka pada tahun 20an ialah Salah Asuhan karya Abdul Muis. Dalam karya itu pengarang lerbih realistis didalam menyoroti masalah kawin paksa. Selain itu berisi juga tentang pertentangan antara kaum muda dengan kaum tua dalam pernikahan. Yang menjadi permasalan bagi pengarang ialah akibat-akibat lebih jauh dari pertemuan kebudayaan Eropa yang masuk dalam tubuh anak-anak bangsanya melalui pendidikan sekolah kolonial Belanda.
            b. Novel Belenggu karya Armin Pane pernah ditolak oleh Balai Pustaka karena isinya dianggap tidak bersifat membangun dan tidak membantu budi pekerti. Kemudian noel itu disadur oleh Pujangga Baru tahun1938, dan dicetak ulang oleh Balai Pustaka. 

2.3 Cara Mengetahui Karakteristik Karya Sastra yang Tergolong
       Periodisasi Balai Pustaka
            Setiap karya sastra pasti mempunyai ciri-ciri dalam sastranya. Hal ini berpengaruh pada masa sastra itu dibuat. Seperti karakteristik umum karya sastra pada masa Balai Pustaka pada periode 1920 yaitu sebagai berikut :
1)      Umumnya masih belum terlepas dari sifat kesusastraan Melayu lama
2)      Inti cerita tentang pertentangan paham antara kaum tua dan kaum muda. Kaum tua mempertahankan adat lama sedangkan kaum muda mengkehendaki kemajuan menurut paham kehidupan modern
3)      Bersifat didaktik, sifat ini berpengaruh sekali pada gaya pencitraan dan struktur penceritaannya. Semuanya ditunjukkan kepada pembaca untuk memberi nasihat
4)      Bersifat kedaerahan, latar cerita pada umumnya latar daerah, pedesaan, dan kehidupan daerah
5)      Gaya bahasa yang digunakan perumpamaan klise, pepatah-pepatah, dan peribahasa namun mempergunkan bahasa percakapan sehari-hari yang lain dari bahasa hikayat sastra lama
6)      Alur roman sebagian besar alur lurus dan ada juga yang mempergunakan alur sorot balik, misalnya azab dan sengsara
7)      Banyak digresi, yaitu banyak sisipan-sisipan peristiwa yang tidak berlangsung berhubungan dengan inti cerita, seperti uraian adat, dongeng-dongeng, syair dan pantun nasihat
8)      Bercorak romantis melarikan diri dari masalah kehidupan sehari-hari yang menekan
9)      Bermasalah adat, terutama masalah adat kawin paksa, pemaduan dan sebagainya
10)  Cerita bermain di zaman sekarang, bukan ditempat dan zaman antah-berantah, dan cita-cita kebangsaan belum dipermasalahkan serta masig bersifat kedaerahan
11)  Pada awalnya pengarang didominasi oleh orang Sumatera, akan tetapi setelah Sumpah Pemuda tahun 1928 muncul pengarang-pengarang dari daerah lain
v  Segi Positif dan Negatif Balai Pustaka
Seperti sudah dikemukakan di atas segi positif Balai Pusataka besar sekali yakni :
1.      Menerbitkan buku-buku dan majalah-majalah dengan harga murah.
2.      Mendirikan perpustakaan-perpustakaan.
3.      Menggalakkan rakyat untuk membaca.
4.      Tempat penampungan hasrat dan keinginan pengarang untuk maju di bidang karang-mengarang.
5.      Tempat bimbingan bagi pengarang dan dorongan untuk maju terutama dibidang bahasa.
Segi Negatif dari Balai Pustaka yakni :
1.      Memakai syarat-syarat tertentu untuk karya-karya yang akan diterbitkan sebelum diterbitkan harus diperbaiki lebih dahulu oleh redaksi Balai Pustaka sehingga nilai sastra telah merosot setelah diadakan perbaikan oleh Balai Pustaka. Perbaikan dan penyesuaian ini telah merugikan karya itu dilihat dari segi sastra.
2.      Mengenakan syarat politik dan moral terhadap karya-karya yang akan diterbitkan.
3.      Perubahan atau penyesuaian dari Balai Pustaka ini sudah merupakan perubahan yang merusak jalan cerita.
v  Ciri-ciri dan pokok garapan Balai Pustaka
a.       Ciri umum yang paling menonjol ialah tujuan atau tendensnya
Hampir seluruh karya sastra Balai Pustaka jelas sekali tujuan atau tendensnya yakni bersifat mengajar atau mendidik.
b.      Ciri umum kedua ialah sifatnya yang romantis-sentimentalis
Sifat romantis ini terlihat pada nadanya. Nada itu timbul akibat persoalan yang dibicarakan selalu tentang percintaan dan kisah hidup muda remaja yang sedang mabuk asmara. Percintaan ini selalu diiringi dengan rintangan adat atau sikap orang tua yang tidak menyetujui pilihan anak-anaknya. Dengan demikian timbul lah kesengsaraan dan penderitaan yang tiada terhingga. Sifat romantis-sentimentalis ini membawa beberapa orang pengarang kepada masa silam.

2.4 Pengarang dan Karya Sastra yang Termasuk Pada Masa Balai
      Pustaka
            Balai pustaka merupakan penerbit yang mempunyai kehormatan dibandingkan dengan penerbit-penerbit lain. Hal ini terlihat dari sejarah Balai Pustaka itu sendiri. Melihat hal demikian mengakibatkan banyaknya para sastrawan mencetakkan karyanya ke Balai Pustaka dengan maksud untuk mendidik masyarakat dalam urusan baca tulis, pengetahuan umum dan informasi lainnya. Karena pada masa itu alat informasi seperti radio sangat sulit ditemukan sehingga para sastrawan memanfaatkan Balai Pustaka untuk mencerdakan bangsa, melihat peranan Balai Pustaka wajar sekali jika pada masa itu para sastrawan kebanyakan sebagai jurnalis atau seorang guru. Sebagai ilustrasi, dari Antologi Biografi Pengarang Sastra Indonesia 1920-1950 (Rustapa,1997) dan Buku Pintar Sastra Indonesia ( Eneste,2001b) tercatat sejumlah tokoh dan karyanya sebagai berikut :
1.      Abdul Muis (lahir di Solok, Sumatera Barat, tahun 1886, meninggal di Bandung 17 Juli 1959) berpendidikan sekolah kedokteran (STOVIA) Jakarta, pernah menjadi wartawan, bergiat dalam Syarikat Islam, dan pernah menjadi anggota Dewan Rakyat (1920-1923). Namun terkenal karena novel Salah Asuhan (1928), Pertemuan Jodoh (1933), Surapati (1950) dan Robert Anak Surapati (1953)
a.   Karangan asli
Salah pilih (dikarang dengan nama samaran Nur Sinah tahun 1928), Karena Mertua (tahun 1932), Hulubalang Raja (novel sejarah oleh Teeuw dipandang yang terbaik), Katak Hendak Jadi lembu, Neraka Dunia (1973), Cinta tanah Air (novel yang terbit pada jaman Jepang tahun1944), Mutiara (1946), Cobaan (1947), Cinta dan Kewajiban (dikarang bersama dengan I.Wairata).
b.      Karangan terjemahan
Anjing Setan – A. Canon Doyle, Gidang Intan Nabi Sulaiman – Rider Haggard, Kasih Beramuk dalam Hati – Beatrice Harraday, Tiga Panglima Perang - Alexander Dumas, Graaf De Monto Cristo – Alexander Dumas, Iman dan Pengasihan – H Sien Klewiex, Sepanjang Gaaris kehidupan – R Casimir.
Hasil karya :sinopsis Salah Asuhan (1928)
Hanafi adalah seorang anak pribumi yang berasal dari Solok. Ibu hanafi adalah seorang janda, yang suaminya sudah meninggal semenjak hanafi masih kecil. Ibu hanafi sangat menyayanginya.     Meskipun sudah menjanda, ibunya berkeinginan untuk memandaikan anaknya. Ibunya mengirim Hanafi ke Betawi untuk bersekolah di HBS. Ibunya selalu berusaha keras untuk selalu memenuhi segala biaya Hanafi. Selama bersekolah di Betawi, Hanafi dititipkan kepada keluarga Belanda. Sehingga pergaulan Hanafi tidak lepas daro orang-orang Belanda. Setelah lulus sekolah di HBS, pergaulannya juga tidak lepas dari orang-orang Eropa, karena ia bekerja di Kantor BB sebagai asisten residen di Solok. Meskipun Hanafi seorang pribumi asli, tingkah lakunya serta gaya hidupnya sudah berubah menjadi kebarat-baratan. Bahkan terkadang tingkah lakunya melebihi orang Belanda asli.     Selama ia bergaul dengan orang-orang eropa dan setiap hari bersekolah di HBS, Hanafi dekat dengan gadis eropa yang bernama Corrie. Dalam kesehariannya Hanafi dan Corrie memanglah sangat dekat, hubungan keduanya seperti kakak dengan adiknya. Mereka sering jalan-jalan berdua, main tenis bahkan duduk-duduk sambil menikmati segelas teh pun juga berdua.   Karena hubungan mereka sangat amat dekat, maka Hanafi pun menganggap pertemanan itu dianggap lain. Hanafi sayang kepada Corrie, namun perasaan itu bukan sekedar hanya rasa sayang seorang kakak kepada adiknya, melainkan rasa sayang sebagai pacar. Setiap hari Hanafi selalu bertemu dengan Corrie meskipun hanya sebentar saja. Sikap Corrie kepada Hanaffi juga masih nampak seperti biasanya. Hingga akhirnya Hanafi memberanikan diri untuk mengungkapkan isi hatinya kepada Corrie. Namun ketika Hanafi mengungkapkan isi hatinya, Corrie tidak langsung memberi jawaban kepada Hanafi, melainkan segera berpamitan pulang dengan alasan yang tidak jelas. Keesokan harinya, Corrie pergi meninggalkan Solok menuju Betawi. Maka dikirimkan surat kepada Hanafi, yang isinya penolakan secara halus mengenai pernyataan Hanafi pada tempo hari. Corrie merasa sangat tidak mungkin menerima Hanafi, karena perbedaan budaya antara bangsa melayu dengan bangsa eropa. Selain itu Corrie juga ditentang oleh ayahnya jika menikah dengan orang melayu. Karena penolakan tersebut, Hanafi jatuh sakit selama beberapa hari.     Selama dia sakit, Hanafi hanya dirawat oleh ibunya, dan selama itu pula Hanafi sering mendapat nasihat dari ibunya. Ibunya menasihati dan membujuk Hanafi agar menikah dengan Rapiah, yaitu anak mamaknya. Karena pada saat Hanafi bersekolah di HBS, mamaknyalah yang mencukupi kebutuhan Hanafi. Mendengar bujukan Ibunya, Hanafi sangat amat marah, karena Hanafi sungguh tidak mengetahui siapakah Rapiah itu dan Hanafi hanya suka kepada Corrie, yang telah menolak cintanya. Maka Ibu Hanafi menjelaskan bahwa Rapiah adalah anak mamak, Sultan Batuah. Perjodohan itu dikarenakan Ibu Hanafi berhutang budi kepada Sultan Batuah. Setelah mendapat bujukan dari Ibunya, akhirnya Hanafi menerima perjodohan itu, meskipun dengan sangat terpaksa. Dua tahun sudah usia pernikahan Hanafi dan Rupiah, dan mereka dikaruniai seorang anak laki-laki yang bernama Syafei. Pernikahan yang tidak didasari dengan rasa cinta itu membuat rumah tangga mereka tidak pernah tentram. Setiap hari Hanafi selalu memaki-maki istrinya karena hal yang sepele. Namun Rapiah hanya diam dan tidak pernah melawan semua perlakuan suaminya.     Hal itulah yang membuat Ibu Hanafi kagum kepada Rapiah, hingga suatu hari Hanafi murka kepada Ibunya. Dengan tidak sengaja Ibunya menyumpahi Hanafi. Tiba-tiba anjing gila mengigit pergelangan Hanafi hingga Hanafi harus berobat ke Betawi. Sampai di Betawi Hanafi bertabrakan dengan seorang gadis eropa, yang tidak lain adalah Corrie. Dengan amat senang mereka berdua menghabiskan waktu untuk berjalan-jalan berdua menggunakan sepeda angin. Sudah satu minggu Hanafi meninggalkan Solok, setelah itu Hanafi mencari kerja di Kantor BB sebagai commies. Meskipun gaji awal cukup kecil, namun hanafi sangat senang.    Karena dia dapat bertemu dengan Corrie setiap hari. Hanafi berusaha keras untuk mendapatkan Corrie, hingga hanafi rela berubah kewarganegaraan menjadi Eropa. Setelah itu, Hanafi memohon kepada Corrie untuk menerima ajakan pertunangannya. Karena rasa ibanya kepada Hanafi, Corrie terpaksa menermanya. Meskipun Corrie harus menerima resiko, yaitu dijauhi oleh teman-teman eropanya, Pesta pertunangan mereka dilakukan dikediaman rumah teman Belandanya, namun tuan rumah nampak tidak begitu suka dengan pertunangan itu. Karena dia tidak suka bergaul dengan orang Belanda berkulit sawo matang.    Meskipun Rapiah dan Ibunya tahu jika Hanafi akan menikah Corrie, namun Rapiah tetap menunggu kedatangan Hanafi. Karena Ibu Hanafi sangat sayang kepada Rapiah, bahkan sayangnya melebihi rasa sayangnya kepada Hanafi. Hanafi dan Corrie sudah menjadi suami istri, maka tinggalah mereka dalam satu rumah. Namun seiring berjalannya waktu, rumah tangga Hanafi dan Corrie sudah tidak tentram lagi. Karena sifat Hanafi yang keterlaluan, sampai menuduh Corrie berzina dengan orang lain. Karena kehidupannya yang dalam kondisi tidak jelas, Bangsa Eropa maupun Bangsa Melayu sudah tidak mau mengakui Hanafi, karena keangkuhan dan kesombongannya.     Pada akhirnya Corrie pergi ke Semarang untuk menghindari Hanafi. Namun pada suatu hari, Hanafi menerima surat yang memberi tahukan bahwa Corrie berada di Semarang. Setelah beberapa hari, Hanafi nekat pergi ke Semarang untuk mencari Corrie dirumah seorang pengusaha anak-anak yatim. Namun sampai disana justru berita buruk yang diterima oleh Hanafi. Bahwa Corrie masuk rumah sakit karena sakit keras, yaitu kolera. Hingga akhirnya nyawa Corrie ridak dapat ditolong lagi. Setelah kepergian Corrie, Hanafi pulang ke Solok untuk menemui Ibunya. Setelah beberapa hari Hanafi sampai di Solok, ia jatuh sakit karena menelan 6 butir sublimat, yang menyebabkan Hanafi terus muntah darah dan akhrinya merenggut nyawanya. 
c.       Karangan saduran 
Pengajaran Di Swedwn – Jan Lightair, Pengalaman Masa Kecil – Jan Lighard, Pelik-pelik Kehidupan – Jan Lighard, Si Bakil – Moliere Lavare, Abu Nawas, Jager Bali, Korban Karena Penciiptaan, Apa Dayaku karena Aku Seoarng Perempuan, Dewi Rimba
d.      Catatan harian 
Ujian Masa (21-7-1947 s/d 1-4-1948)

2.      Marah Rusli ( lahir di Padang, 7 Agustus 1889, meninggal di Bandung 17 Januari 1968) berpendidikan sekolah Dokter Hewan di Bogor (1915), pernah menjadi mayor Angkatan Laut RI di Tegal (1945) dan dosen Sekolah Tinggi Dokter Hewan di Klaten (1948). Namanya terkenal karena novel atau roman Sitti Nurbaya (1922) yang pada tahun 1969 menerima hadiah dari Pemerintah Republik Indonesia, Sinetron Sitti Nurbaya dengan aktor Gusti Rnda, H.I.M Damsyik, dan aktris Novia Kolopaking pernah populer juga di layar kaca televisi Indonesia. 
Hasil karya : Nurbaya (1922)
Siti Nurbaya merupakan kisah klasik Indonesia. Kisah tragis yang tetap dikenang sampai sekarang. Berkisah tentang dua orang pemuda pemudi, Samsulbahri, putra dari bangsawan, Sultan Mahmud Syah dan Siti Nurbaya, putri dari saudagar kaya, Baginda Sulaiman. Mereka telah bertetangga sejak kecil. Hubungan persahabatan antara kedua remaja ini lama kelamaan berubah menjadi cinta, yang baru mereka sadari saat Samsulbahri akan berangkat ke Jakarta untuk melanjutkan sekolahnya.
Sementara itu, Datuk Maringgih, seorang saudagar kaya di Padang, berusaha untuk menjatuhkan kedudukan Baginda Sulaiman karena iri terhadap harta kekayannya. Ia menyuruh anak buahnya membakar toko-toko dan semua harta kekayaan Baginda Sulaiman. Akhirnya Baginda Sulaiman jatuh miskin, tapi ia tidak mengira hal ini diakibatkan oleh akal licik Datuk Maringgih. Ia meminjam sejumlah uang tanpa prasangka apapun. Akan tetapi bagi Datuk maringgih, kedatangan Baginda Sulaiman memang sangat diharapkan. Ia meminjamkan uang dengan syarat harus melunasi dalam waktu tiga bulan. Pada saat yang
Ditentukan , Datuk pun datang menangih janji.
Malang bagi Baginda Sulaiman. Ia tidak dapat melunasi utang. Datuk Maringgih yang tidak mau rugi, mengancam akan memenjarakan Baginda Sulaiman, kecuali Baginda menyerahkan Siti Nurbaya untuk dijadikan istri mudanya. Awalnya baginda menolak, karena ia tidak mau putrinya menjadi korban hidung belang Datuk Maringgih. Ia pasrah menjalani hukuman. Saat itulah, Siti Nurbaya keluar dari kamar dan menyatakan bersedia menjadi istri muda Datuk Maringgih, asal ayahya bebas dari utangnya.
Samsulbahri yang mendengar peristiwa itu, ikut prihatin. Oleh karena itu, saat liburan, ia pulang ke Padang dan menyempatkan menengok Baginda Sulaiman yang sedang sakit.Kebetulan, saat itu Siti Nurbaya sedang menjenguk ayahnya. Merekapun saling menceritakan pengalaman masing-masing. Hal ini diketahui Datuk maringgih dan ia mengira mereka berdua melakukan perbuatan yang tidak pantas. Pertengkaran tak dapat dihindarkan. Ayah Siti Nurbaya yang berusaha melerai, terjatuh dari tangga dan menemui ajal. Selain itu, ayah Syamsul Bahri yang malu atas tuduhan itu, mengusir anaknya. Sementara itu, Siti Nurbaya merasa bebas dan tidak perlu lagi tunduk pada Datuk Maringgih, memilih tinggal
Dengan keluarganya.
Tapi akal licik Datuk Maringgih tidak berhenti sampai disitu. Sekali waktu dia menuduh Siti Nurbaya mencuri perhiasannya, sehingga ia tidak dapat menyusul Samsulbahri ke Jakarta. Belum puas, ia menyuruh seseorang meracuni Siti Nurbaya, yang mengakibatkan Siti Nurbaya meninggal. Hal ini mengakibatkan ibu Samsulbahri sedih dan meninggal dunia.
Samsulbahri yang mengetahui hal tersebut sangat sedih dan mencoba bunuh diri. Ia berhasi diselamatkan. 
            Ia yang frustasi kemudian menjadi serdadu belanda, dengan nama Letnan Mas dan mendapat tugas menumpas pemberontakan di Padang. Ia mendapat perlawanan sengit namun berhasil menumpasnya bahkan berhasil membunuh Datuk Maringgih, si dalang pemberontakan. Karena luka parah, ia dirawat dirumah sakit. Saat itu, timbul keinginannya untuk berjumpa sang ayah. Pada saat terakhir, ia berhasil memberitahu ayahnya bahwa ia, Samsulbahri, masih hidup. Setelah mengucapkan hal itu, ia menghembuskan nafas terakhirnya. Sang ayah yang terkejut dan berduka, ikut menghembuskan nafas terakhir keesokan harinya.
3.      Merari Siregar  (lahir di Sipirok, Sumatera Utara, 13 Juni 1896, meninggal di \
Kalianget, Madura 23 April 1940) berpendidikan Handels-correspondent Bond A di Jakarta (1923), pernah bekerja sebagai guru di Medan, Rumah Sakit Umum Jakarta dan Opium dan Zoutteregie Kalianget. Novelnya Azab dan Sengsara (1920) lazim dianggap sebagai awal kesusastraan Indonesia
Hasil karya : Azab dan Sengsara (1920)
Novel yang satu ini bisa dikategorikan novel klasik terbitan Balai Pustaka. Ia menandai zaman dimana sastra Indonesia masih didominasi penggunaan bahasa melayu yang kental. Adapun tema umum novel yang satu ini adalah kehidupan percintaan seorang gadis yang pernikahannya tidak membawa pada hidup yang bahagia tetapi justru pada kesengsaraan. Tokoh sentral dalam kisah cinta ini bernama Mariamin dan Aminu’ddin. Keduanya berkerabat dekat tetapi berbeda nasib. Aminu’ddin merupakan anak kepala kampong, seorang bangsawan yang kaya raya dan disegani banyak orang. Sementara itu Mariamin tumbuh di lingkungan keluarga yang miskin. Sejak kecil keduanya sudah berkenalan dan bermain bersama. Beranjak dewasa, Aminu’ddin dan Mariamin merasakan getaran cinta yang kuat. Aminu’ddin berjanji akan menikahi Mariamin. Niatnya ini diutarakan pada ibu dan ayahnya, Baginda Diatas. Sang ibu setuju sebab ia menganggap Mariamin masih keluarganya dan dengan menikahkannya dengan Aminu’ddin, ia bisa menolong kemiskinan gadis itu. Namun, pendapat berbeda datang dari ayah Aminu’ddin yakni Baginda Diatas. Ia diam-diam tidak menyetujui rencana Aminu’ddin sebab ia beranggapan pernikahan tersebut tidak pantas dan akan menurunkan derajat bangsawannya.
            Untuk mewujudkan niatnya, akhirnya Aminu’ddin berangkat ke Medan untuk mencari kerja. Saat di Medan, ia masih rajin berkirim kabar dengan Mariamin. Sampai suatu waktu, ia akhirnya mengirim berita ke kampung bahwa ia sudah siap untuk berumahtangga dengan wanita pujaannya tersebut. Sayangnya, Baginda Diatas, ayah Aminu’ddin tidak setuju. Ia menyusun rencana agar isterinya tidak menyetujui keinginan Aminu’ddin. Caranya, ia membawa isterinya ke dukun sewaan dan pura-pura meramal jodoh terbaik untuk Aminu’ddin, anaknya. Sang dukun berkata bahwa jodoh Aminu’ddin bukanlah Mariamin melaikan seorang gadis bangsawan di desa mereka. Ibu Aminu’ddin pun percaya dan setuju berangkat ke Medan dengan membawa gadis bangsawan yang hendak dinikahkan dengan Aminu’ddin.
            Saat mereka tiba di Medan, Aminu’ddin kaget sebab keputusan orangtuanya menjodohkan dengan gadis tersebut memukul jiwanya. Tapi ia tak bisa menolak sebab saat itu ia terikat adat busaya yang harus selalu patuh pada keputusan orang tua. Akhirnya Aminu’ddin mengirim surat kepada Mariamin sambil memohon maaf karena ia terpaksa menikahi gadis lain meskipun tanpa cinta. Mendengar kabar terebut, Mariamin sangat sedih. Ia bahkan sempat sakit. Setahun berselang, ibu mariamin akhirnya menerima pinangan seorang laki-laki bernama Kasibun. Ia berharap pernikahan tersebut akan mengobati luka Mariamin. Akan tetapi apa yang diniatkan ibu Mariamin tidak terjadi. Pernikahan tersebut malah menambah penderitaan lain bagi Mariamin. Sebab, ternyata Kasibun memiliki isteri
Yang diceraikannya dengan alasan ingin menikashi Mariamin.
Selanjutnya, Kasibun membawa Mariamin ke Medan. Mereka mengalami hubungan suami siteri yang compang sebab Mariamin tidak ingin melakukan hubungan intim dengan suaminya. Alasannya, ternyata Karibun memiliki penyakit kelamin yang bisa menular. Mendapat penolakan tersebut, Karibun kalap dan sering menyiksa isterinya, Mariamin. Penderitaannya semakin bertambah sejak Aminu’ddin bertamu ke rumahnya suatu waktu. Melihat reaksi Mariamin yang tak biasa, Karibun pun membaca sesuatu yang lain dan kemudian cemburu. Semakin hari ia semakin sering menyiksa isterinya.
Pada akhirnya Mariamin tak sanggup lagi dan akhirnya melaporkan suaminya, Karibun, ke polisi. Akhirnya Karibun ditetapkan bersalah dan diwajibkan membayar denda serta melepaskan Mariamin tak lagi jadi isterinya. Mariamin akhirnya kembali ke desanya dan hidup menderita di sana. Ia sakit-sakitan hingga akhirnya meninggal dunia dalam derita. 
4.      Muhammad Kasim ( lahir di Muara Sipongi, Sumatera Utara tahun 1886)
berpendidikan sekolah guru dan hingga tahun 1935 menjadi guru sekolah rakyat. Kumpulan cerpennya Teman Duduk (1936) lazim disebut awal tradisi kumpulan cerpen sastra Indonesia. Bukunya yang berjudul Si Samin mendapat hadiah Sayembara Buku Anak-anak Balai Pustaka tahun 1924, kemudian terbit lagi tahun 1928 dengan judul Pemandangan dalam Dunia Kanak-kanak. Karyanya yang lain novel Muda Teruna (1922) kumpulan cerpen Lertengker Berbisik, kumpulan cerpen Buah di Kedai Kopi, Niki Bahtera terjemahan karya C.J Kievier dan Pangeran Hindi terjemahan karya Lewis Wallance (1931)
Hasil Karya : Si Samin
Si Samin

5.      Nur Sutan Iskandar ( lahir di Sungaubatang, Sumatera Barat, 3 November
1893 meninggal di Jakarta 28 November 1975) berpendidikan sekolah guru, pernah menjadi guru dan redaktur Balai Pustaka hingga pensiun. Namanya terkenal karena menghasilkan sejumlah novel Apa Dayaku karena Aku Perempuan (1922), Salah Pilih (1928), Katak Hendak Menjadi Lembu (1934), Neraka Dunia (1937), Cinta Tanah Air (1944), Mutiara (1946) dan Jangir Bali (1946)
Hasil karya : Apa Dayaku karena Aku Perempuan (1922)
Aku mau bersekolah karena Mamaknya orang yang berkuasa. Mamak lebih berkuasa daripada Bapak. Adat kebiasaan di kampung, kemenakan lebih dahulu ditawarkan oleh Mamaknya sebelum di berikan orang lain. Mamak meninggal, hilang sudah tempat pergantunganku. Tunangannya datang ke rumah. Ia ingin pergi ke Jakarta karena tidak nyaman tinggal di kampung. Ia adalah pengganti Ibu yang sudah meninggal. Ia berjanji jika sudah setahun ia akan kembali ke kampung. Aku risau, karena sebagian besar anak laki-laki yang sekolah di Jakarta tidak mau pulang ke kampung halaman. Teman-teman banyak yang datang mengadu kepadaku akibat menikah muda. Aku tidak boleh membantah, karena ini adalah kehendak orang tua.
Sebagian besar suami tidak bertanggung jawab atas masalah kawin paksa. Mereka menganggap perempuan seperti benda yang tidak bernyawa. Semua keluarga pasti malu kalau anak gadisnya tidak cepat-cepat menikah, tetapi menikah di bawah umur mendatangkan banyak masalah. Ani adalah perempuan yang berterus terang. Harta yang ia punya adalah
milik Mamaknya dan hasil usaha Bapaknya. Seorang ayah bersifat otokratik terhadap anak perempuannya, bila ia menyekolahkan anaknya dan terlibat dengan cinta.
Ani terpaksa menulis surat surat untuk kekasihnya supaya menjemputnya segera, walaupun ia tahu kehidupan kekasihnya belum mapan. Saat kekasihnya menerima surat, permintaannya belum dapat dikabulkan. Kekasihnya ingin ia menikah ketika umurnya sudah cukup. Bapak Ani meminta kekasih Ani untuk megirim ulang surat dan perhelatan akan segera berlangsung. Kalau tidak mengirim surat putus, ia harus mengirim surat talak untuk isterinya. Keluarga harus menutup malu jika anak perempuannya tidak cepat-cepat berkeluarga. Menikah sebelum berpencarian akan menimbulkan masalah besar dalam keluarga. Pandangan generasi tua selalu berkaitan dengan Agama Islam, menikah di usia tua seperti meniru orang Belanda. Ayah merasa menyesal karena Mamak menyekolahkan Ani karena akhirnya Ani tidak menurut dengan orang tua. Sesuatu yang baru sulit dirubah walaupun ada kebenarannya.
Mamak Datok Hitam mempunyai pikiran yang sama dengan Ani. Setelah terima surat dari kekasihnya, Mamak Datok Hitam akan pulang ke kampung dan menjelaskan yang sebenarnya. Amak Datok Hitam bukanlah Mamak kandung, ia selalu di dengar dan di hormati masyarakat kampung. Peranan Mamak Datok Hitam adalah memberikan budi pekerti yang lembut, serta memberikan jasa, pendidikan, dan pertanian kepada kampung. Pikiran Mamak Datok Hitam selalu berkaitan dengan pernikahan usia muda. Ia selalu diterima dengan 2 cara, dengan setuju, dan disindir secara halus yang masih kebiasaan rdilakukan oleh masyarakat kampung.
Durkana menangguhkan perkawinan karena ingin menguatkan diri dengan senjata hidup dan Ani yang berjanji akan menunggu waktu yang tepat. Mak Datok Hitam berperan bahwa laki-laki harus menaruh belas kasihan terhadap isteri. Mamak datok Hitam berpendapat bahwa laki-laki lupa dengan perasaan perempuan, seperti orang bangsawan yang menganiaya kaum perempuan dan orang tua yang ingin beristeri muda. Durkana menceritakan kepada keluarga yang nantinya ia akan menjadi suaminya dan pernikahan itu tidak diputuskan;
Kemunculan mereka itu wajar karena berasal dari Sumatera yang sangat dekat dengan
Bahasa Melayu yang dijadikan bahasa penting Balai Pustaka. Namun tidak lama, muncullah pengarang dari berbagai daerah seperti R.Soengkana, Paulus Supit, M.R. Dayoh, Hersevien Taulu, H.S.D Muntu, I Gusti Njoman Panji Tisna, M.W. Asmawinangun, D.Surandi, Ardi Soma, dan S.Wairata. Dari tangan mereka telah terbit puluhan roman Balai Pustaka tahun 1920-an dan 1930-an.
            Sebagai ancangan, baiklah dikenali secukupnya roman-roman terbitan Balai Pustaka yang hampir selalu disebut dalam berbagai buku pelajaran, antara lain :
a.       Asmara Jaya (adinegoro)
b.      Azab dan Sengsara ( Merari Siregar)
c.       Hulubalang Raja (Nur Sutan Iskandar)
d.      Kalau Tak Untung ( Selasih)
e.       Katak Hendak Menjadi Lembu (Nur Sutan Iskandar)
f.       Mencari Pencuri Anak Perawan ( Sumani Hs)
g.      Muda Temura ( Muhammad Kasim)
h.      Ni Rawit Cari Penjual Orang ( A.A Panji Tisna)
i.        Pencobaan Setia ( Suman Hs)
j.        Pertemuan Jodoh ( Abdul Muis)
k.      Salah Asuhan (Abdul Muis)
l.        Sengsara Membawa Nikmat (Tulis Sutan Sati)
m.    Siti Nurbaya ( Marah Rusli)
n.      Sukreni Gadis Bali ( A.A. Panji Tisna)
Dengan kata lain, roman-roman Balai Pustaka tahun 1920-an dan 1930-an yang sudah
Menjadi sejarah bukanlah barang kuno yang boleh dilupakan. Melainkan khazanah budaya yang selalu terbuka terhadap peristiwa baru contohnya saja dalam karya Salah Asuhan Karangan Abdul Muis terungkap data bahwa teks roman itu berbeda dengan naskah aslinya.
Dalam naskah aslinya jalan ceritanya sungguh berbeda sekali. Corrie dilukiskan sebagai gadis pesolek yang sangat menyenangi pergaulan bebas. Berkat bujukan tante Lien ia bergaul intim dengan pemain orkes keroncong bernama Jantje, bahkan ia telah berani menjual dirinya kepada seorang Arap kaya, kepada seorang Kapten kapal, dan lain-lain. Inilah sebab utama pertikaian dan perceraiannya dengan Hanafi, disamping perbedaan bangsa dan perbedaan lingkungan yang mereka rasakan setelah perkawinan. Akhirnya Corrie yang telah terjerumus kedalam kehidupan sebagai pelacur umum, mati oleh salah seorang langganannya karena iri.
Melihat naskah yang asli itu wajarlah kalau Volkslectur( yang dipimpin dan diasuh oleh pemerintah Belanda) keberatan menerbitkannya (Bakar, 1985:17). Terlepas dari tawaran siapa pun terhadap pentingnya pengkajian yang mendalam mengenai penerbit-penerbit di luar Balai Pustaka, jelas lah bahwa Balai Pustaka yang hingga tahun 1942 merupakan badan Penerbit Kolonial Belanda itu telah banyak sumbangannya dalam menumbuhkan tradisi baru kehidupan Sastra Indonesia. Seandainya pada zaman itu tidak ada Balai Pustaka, mungkin saja tidak muncul dan berkembang Pujangga Baru.
v  Pokok Garapan Novel-novel Balai Pustaka
1.      Konflik orang muda dengan orang tua, seperti kelihatan pada pertentangan antara golongan adat dengan golongan yang menentang adat. Konflik ini kelihatan pada novel Azab dan Sengasara, Sitti Nurbaya dan kebanyakan roman Balai Pustaka lainnya.
2.      Konflik antara orang Timur dan Barat, konflik antara orang Indonesia dengan orang Belanda. Orang-orang Belanda mendapat kedudukan yang tinggi dalam jabatan dan dalam masyarakat. Orang Indonesia yang terpelajar dan bercita-cita tinggi ingin mencapai kedudukan sosial seperti orang Belanda. Hal ini terlihat jelas dalam novel Salah Asuhan .
3.      Kawin Paksa, Perkawinan merupakan persoalan masyarakat dan persoalan keluarga. Maka perkawinan tidak dibentuk oleh individu tapi oleh keluarga dan masyarakat. Hal ini terlihat jelas dalam novel seperti karena mertua, cincin stempel dan karena anak kandung.

2.5 Tugas Balai Pustaka
          Badan ini bertugas menerbitkan buku-buku yang baik untuk meningkatkan kecerdasan masyarakat. Buku-buku itu ada yang berupa dongeng, cerita-cerita lama, hikayat-hikayat, pengetahuan umum, seperti cara bercocok tanam, beternak, berttukang dan lain-lain.
            Disamping itu juga badan ini mengusahakan taman pustaka atau perpustakaan yang ditempatkan di sekolah-sekolah rakyat. Dengan makin banyaknya tamatan sekolah yang memerlukan bahan-bahan bacaan maka bertambah pula buku-buku yang diterbitkan. Maka badan ini akhirnya diperluas dan diperbesar dan namanya pun diganti menjadi Balai Pustaka tahun 1917. Balai Pustaka menjadi lebih penting kedudukannya, sehingga memerlukan petugas-petugas khusus untuk memimpin dan mengasuhnya.
Tugas badan ini dapat dikemukakan sebagai berikut :
1.      Mengumpulkan serta mencatat semua cerita-cerita dikalangan masyarakat.
2.      Menerbitkan cerita-cerita yang telah dikumpulkan tersebut.
3.      Menterjemahkan cerita-cerita yang berasal dari luar negeri, sejauh tidak bertentangan dengan politik pemerintahan Belanda di Indonesia.
4.      Menerbitkan majalah-majalah untuk bahan bacaan masyarakat.
5.      Menyelenggarakan Perpustakaan.
6.      Menerbitkan karangan asli tulisan-tulisan orang Indonesia.
7.      Membimbing pengarang-pengarang Indonesia dalam arti memberi kesempatan untuk menulis dan memberi dorongan untuk kemajuan di bidang karang-mengarang.
Usaha Balai Pustaka menerbitkan buku-buku bacaan mencapai kemajuan yang sangat
Pesat, baik buku-buku tentang pengetahuan, kebudayaan, ekonomi, kamus, atlas dan lainnya.
Jumlah buku-buku yang diterbitkan sampai tahun 1942 hampir 2000 judul, tidak termasuk cetak ulang, almanak dan majalah-majalah. Pada akhir setiap tahun dijual kira-kira 300.000 buku. Pada tahun 1922 Balai Pustaka mulai menerbitkan majalah-majalah  diantaranya “Panji-Pustaka” majalah setengah mingguan dalam bahasa melayu, ”Kejawen”, majalah setengah mingguan dalam bahasa jawa, “Peralu-jangan” majalah mingguan dalam bahasa sunda dan juga “Sri Pustaka” majalah bulanan dalam bahas melayu. Semenjak tahun 1911 pemerintah menyelenggarakan Perpustakaan. Usaha ini dikembangkan sehingga hampir tiap-tiap sekolah rakyat kelas dua mempunyai perpustakaan. Buku-buku dipinjamkan dengan memungut bea yang sangat rendah.
            Karena Balai Pustaka sebagai badan penerbitan dan pusat kesusastraan menerima naskah karangan yang banyak sekali maka petugas-petugas balai pustaka mulai mengadakan penyaringan dan seleksi. Jika isinya cukup memuaskan maka akan diterbitkan jika tidak maka tidak akan diterbitkan. Hak pengarang menjadi milik Balai Pustaka tapi pengarang mendapat honorium yang cukup besar.
            Syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemerintah Belanda yaitu :
a)      Tidak boleh menyinggung agama dan adat, dalam arti dapat menimbulkan rasa kecewa atau permusuhan diantar salah satu golongan
b)      Tidak boleh membicarakan politik yang bertentangan dengan politik pemerintah (penjajah)
c)      Tidak boleh melanggar garis susila
















v Daftar Buku-buku Terbitan Balai Pustaka sampai Tahun 1941


Tahun Terbitan
Nama Buku
Pengarang
1920
Azab dan Sengsara
Merari Siregar

Muda Taruna
Mohannad Kasim
1926
Siti Nurbaya
Marah Rusli

Karam Dalam Gelombang Percintaan
Abdul Ager dan Nursinah Iskandar
1927
Asmara Jaya
Adi Negoro

Pertemuan
Abbas St. Pamuncak N. Sati
1928
Darah Muda
Adi Negoro

Salah Pilih
Nur Sutan Iskandar

Jeumpa Aceh
H.M. Zainuddin

Sengsara Membawa Nikmat
Tulis Sutan Sati

Salah Asuhan
Abdul Muis
1929
Tak Putus Dirundung Malang
S. Takdir Alisyahbana

Kasih Tak Terlerai
Suman Hs

Tak Disangka
Tulis Tutan Sati
1931
Madah Kelana
Sanusi Pane

Sabai Nan Aluih
Tulis Sutan Sati

Percobaan Setia
Suman Hs
1932
Narumalina
Or. Mandank

Karena Mertua
Nur Sutan Sati

Sebabnya Menjadi Hina
Ener

Kasih Ibu
Paulus Supit

Menebus Dosa
Aman Dt. Mojoindo

Memutuskan Pertalian
Tulis Sutan Sati

Tidak  Membalas Guna
Tulis Sutan Sati

Mencari Pencuri Anak Perawan
Suman Hs

Rusmala Dewi
S. Harjosumarto

Nasib
Habib St. Marajo
1933
Kalau Tak Untung
Selasih

Pertemuan Jodoh
Abdul Muis
1934
Pahlawan Minahas
M.R. Dayoh

Sebabnya Rafiah Tersesat
S. Harjosumarto

Si Cebol Rindukan Bulan
Aman Dt. Mojoindo

Hulubalang Raja
Nur Sutan Iskandar
1935
Katak Hendak Menjadi Lembu
Nur Sutan Iskandar

Dewi Rimba
M.D. Idris dan Sutan Iskandar

Perbuatan Dukun
Aman Dt. Mojoindo

Kehilangan Mestika
Hamidah

Sampaikan Salamku Kepadanya
Aman Dt. Mojoindo

Dia dan Aku
Moh-syah

Mencari Jodoh
A. Damhuri

Ni rawit ceti penjual orang
I Gusti Nyoman Panji Tisna

Sukreni Gadis Bali
I Gusti Nyoman Panji Tisna

Layar Terkembang
St. Takdir Alisyahbana

Pengaruh Keadaan
Selasih

Pembalasan
H.S.D. Munta
1937
Neraka Dunia
Nur Sutan Iskandar

Swasta setahun di bendahulu
I Gusti Nyoman Panji Tisna

Teman Duduk
Mohannad Kasim
1938
Di bawah lindungan kaabah
Hamka

Cincin Stempel
Ardin Soma

Pembalasannya
Saadah Alim

Karena Anak Kandung
M. Enri
1940
Dalam Lembah Kehidupan
Hamka

Putera Budiman
M. R. Dayoh
1941
Anak perawan disarang penyamun
S. Takdir Alisyahbana

Cinta dan Kewajiban
L. Wairata dan Nur sutan

Andang Teruna
Sutomo Jauhar Arifin

Taman Penghibur Hati
Saadah Alim

Kawan Bergelut
Suman Hs

Gadis Modern
Adlin Affandi

BAB III

PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Balai Pustaka merupakan suatu angkatan dalam periodisasi sastra yang terkenal dengan sebutan angkatan pembangkit karena lahir pada masa kebangkitan sastra Indonesia yaitu pada periode tahun 1920 sampai tahun 1942. Namun Balai Pustaka juga dikenal sebagai nama sebuah penerbit yang memang keberadaannya menunjang penerbitan sastra-sastra pada masa itu. Melihat kenyataan tersebut maka karakteristik yang membedakan sastra angkatan Balai Pustaka dengan sastra angkatan lainnya adalah: karya-karyannya kebanyakan bertemakan kawin paksa, memuat pertentangan paham antara kaum tua dengan kaum muda, unsur nasionalitas yang terkandung dalam karya sastra belum jelasm, peristiwa yang diceritakan hanya merupakan realitas kehidupan, analisis psikologi dalam karya sastra masih kurang, karya-karya angkatan Balai Pustaka bersifat didaktis, bahasa yang digunakan adalah bahasa melayu umum, serta yang paling membedakan sastra angkatan Balai Pustaka dengan angkatan lainya yaitu genre asil karyanya berupa novel, pantun dan syair.
Angkatan Balai Pustaka bisa disebut masa dimana proses modernisasi karya-karya sastra terjadi. Dimana tidak lagi terpaut oleh budaya-budaya melayu yang kental.
Balai Pustaka merupakan suatu angkatan yang sangat berpengaruh kepada perkembangan perpustakaan baru terutama yang tertulis dengan huruf latin (Usman, 1979: 15). Hal itu tercermin dengan pindahnya pusat perhatian orang-orang yang berminat kepada kesusastraan ke Balai Pustaka (Jakarta) yang berpengaruh pada perkembangan bahasa dari bahasa melayu baru (yang banyak dipengaruhi oleh bahasa-bahasa daerah dan bahasa surat kabar) kemudian menjelma menjadi bahasa Indonesia.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa dengan munculnya angkatan Balai Pustaka maka telah membuka hati para penulis untuk mau memperlihatkan hasil karyanya yang dulunya menggunakan bahasa daerah kemudian beralih menggunakan bahasa Indonesia sebagai ungkapan rasa bangga berbangsa Indonesia. Saelain itu, dengan munculnya angkatan Balai Pustaka maka telah membuka semangat dan kesadaran para penulis untuk mempersatukan daerah-daerahnya demi keutuhan bangsa Indonesia. Disisi lain Balai Pustaka juga dikenal sebagai nama suatu penerbit besar yang berdiri pada sekitar tahun 1920an yang pada tahun tersebut beriringan dengan munculnya angkatan Balai Pustaka. Munculnya angkatan Balai Pustaka memang disesuaikan dengan karya-karya besar yang terkenal pada waktu itu yang sebagian besar diterbitkan dari penerbit Balai Pustaka Jakarta.
Berbicara mengenai periodisasi sastra khususnya Balai Pustaka maka tidak menutup kemungkinan kalau meninjau tentang keadaan sosial pada tahun 1920an, dimana menurut Teeuw (1980: 15) pada tahun tersebut merupakan tahun lahirnya kesusastraan Indonesia modern. Pada waktu itu para pemuda indonesia mulai menyatakan perasaan dan ide yang berbeda dengan masyarakat setempat. Perasan itu dituangkan dalam bentuk sastra namun menyimpang dari bentuk sastra melayu, jawa, dan sastra-sastra lain sebelumnya.
Melihat kenyataan tersebut, khususnya menyangkut tentang pengkajian masalah karakteristik sastra angkatan Balai Pustaka sepengetahuan penulis belum pernah dilakukan. Maka penulis ingin menganalisis dengan tujuan untuk mengetahui lebih dalam tentang angkatan Balai Pustaka yang mencakup tokoh, karakteristik, dan hasil karyanya.

3.1  Saran
Setelah mengkaji sejarah singkat Balai Pustaka, kesusastraan periodisasi Balai Pustaka dan tokoh-tokoh serta hasil karya-karya  masa periodisasi Balai Pustaka  berdasarkan pertanyaan dalam rumusan masalah. Hendaknya seorang pengkaji sastra dalam klarifikasi ilmu sejarah sastra tidak hanya berfokus kepada sastrawannya saja, melainkan harus mampu mengkategorikan bentuk sastra baru atau lama dengan melihat bentuk karya sastra dalam hal ini bahasa, isi, amanat,dll. Dan pengkaji juga melihat ciri-ciri semua periodisasi sastra. Karena setiap periodisasi kesusasteraan mempunyai ciri-ciri, tokoh-tokoh, hasil-hasil karya, kemudahan dan kesusahan serta tantangannya yang berbeda-beda dalam setiap periodisasinya. Maka dari itu marilah kita untuk semakin menggali lagi apa itu sastra dan karya-karyanya, jangan hanya sekedar mengetahui nama tanpa pengenalnya. 

DAFTAR PUSTAKA


Yudiono K.S, Pengantar Sejarah Sastra Indonesia (PT. Grasindo,2010),hlm,.74
Yudiono K.S, Pengantar Sejarah Sastra Indonesia (PT. Grasindo,2010),hl,.24
Yudiono K.S, Pengantar Sejarah Sastra Indonesia (PT. Grasindo,2010),hlm,.11
Yudiono K.S, Pengantar Sejarah Sastra Indonesia (PT. Grasindo,2010),hlm,.26
Yudiono K.S, Pengantar Sejarah Sastra Indonesia (PT. Grasindo,2010),hlm,.71



            



















Tidak ada komentar:

Posting Komentar