Disusun Oleh
Ribka Sitorus 16110003
Qorry Sinaga 16110004
Neva Loveina Sitorus 16110030
Oktalia L.Tobing 16110038
Mata
Kuliah : Sejarah
Sastra
Dosen
Pengasuh : Vita
Riahni Saragi, M.Pd
Grup : A

Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas HKBP Nomensen Pematangsiantar
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Esa atas segala rahmatNya
sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami juga
mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi
dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini, oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Pematangsiantar, Oktober 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ……………………………………………………………… i
DAFTAR ISI …………………………………………………………………….....ii
BAB I
PENDAHULUAN …………………………………………………………….....1
.
1.1 Latar Belakang
Masalah ….…………………………………………………....1
1.2
Rumusan
Masalah ..…...…………………………….…………………………...4
1.3
Tujuan
…..…………………………………………………………………...4
BAB II LANDASAN
TEORI/PEMBAHASAN ….…………………………………....5
2.1
Sejarah
Berdirinya Balai Pustaka …………………………………………….....5
2.2
Alasan
disebut sebagai Balai Pustaka
……………………………………………...7
2.3
Cara
mengetahui Karakteristik karya Sastra ………………………………………8
2.4
Pengarang
dan Karya Sastra Periodisasi Balai Pustaka
………………………….10
2.5
Tugas
Balai Pustaka ……………………………………………..………………21
BAB III PENUTUP
……………………………………………………………….……...25
3.1
Simpulan
…………………………………………………………………………..25
3.2
Saran ………………………………………………………………………..…….26
DAFTAR PUSTAKA
…………………………………………………………………......27
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Balai Pustaka merupakan salah satu penerbit besar
yang banyak memproduksi berbagai jenis buku. Berdiri pada tahun 1917 yang
merupakan pengukuhan komisi untuk sekolah Bumi Putera dan bacaan rakyar(commisie voor de in landsche school en
volkslectur) didirikan oleh pemerintah kolonial belanda pada 14 september
1908. Di negeri nusantara ini banyak sekali orang yang berkecimpung didunia
sastra. Namun realitanya banyak juga orang yang buta tentang ilmu sastra dan
kajian didalam sastra itu sendiri, baik sastra secara umum atau sastra secara
khusus yang sudah bersentuhan dengan kebudayaan nasional yang arif di negeri
nusantara ini atau yang selama ini disebut juga dengan sastra indonesia.
Sastra
merupakan suatu kata yang sampai saat ini belum ada yang mampu menafsirkan
secara tepat tentang pengertiannya, bahkan kata tersebut sampai saat ini masih
menjadi bahan pertanyaan para ilmuan demi untuk mencari keselarasan pengertian
yang tepat. Menurut Teeuw (2002: 23) kata sastra dalam bahasa Indonesia berasal
dari bahasa sansekerta; akar kata sas- dalam kata kerja turunan berarti
mengarahkan, mengajarkan, memberi petunjuk atau instruksi. Akhiran –tra
biasanya menunjukkan alat, sarana. Maka, berdasarkan penggabungan tersebut
sastra dapat berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau
alat pengajaran.
Kalau kita
berbicara tentang sastra dan karya sastra, maka tidak akan terlepas dari
angkatan dan penulisan sejarah sastra Indonesia, juga karakteristik wawasan
estetikanya. Hal itu disebabkan karena sastra (Kesusastraan) dari waktu-kewaktu
pasti akan mengalami perkembangan sesuai periode-periode sastra. Rangkaian
periode-periode sastra itu saling bertumpang-tindih, maksudnya sebelum angkatan
kemarin atau angkatan lama lenyap, maka timbul benih-benih baru yang lebih
kritis dan kreatif.
Setiap
angkatan dalam suatu periodisasi sastra pasti memiliki karakteristik
tersendiri. Jadi tidak menutup kemungkinan kalu kita melihat terlebih dahulu
tentang pengertian kata karakteristik. Karakteristik berasal dari kata dasar
karakter. Menurut Poerwadarminta (1984: 445) karakter adalah tabiat, watak,
sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang
lain. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa karakteristik dalam sastra adalah
sifat yang membedakan suatu karaya sastra dengan karya sastra yang lain.
Apabila dihubungkan dengan suatu angkatan maka karakteristik sastra angkatan
balai pustaka adalah sifat-sifat yang membedakan baik karya sastra maupun
pengarangnya dalam satu angkatan itu dengan angkatan yang lain, jadi bukan
semata-mata hanya satu karya sastra saja, melainkan keseluruhan karya sastra
dalam suatu angkatan tesebut.
Seperti yang telah kita ketahui,
definisi karya sastra adalah suatu karya yang mengandung nilai seni dan
mengarah kepada pedoman-pedoman serta pemikiran-pemikiran hidup. Sedangkan
Sastra Indonesia sendiri dapat merujuk pada sastra yang dibuat di wilayah
Kepulauan Indonesia. Sering juga secara luas dirujuk kepada sastra berbahasa
akarnya, yakni bahasa melayu.
Sastra di
Indonesia sudah ada sejak dulu sekali bahkan mungkin sudah ada sejak zaman
purbakala dimana manusia-manusia purba memulai untuk menggambar dan menulis
sesuatu di dalam gua-gua, sehingga menghasilkan karya-karya sastra. Tetapi
karya-karya tersebut kemudian menghilang karena perkembangan zaman yang mungkin
kurang maju. Lebih pastinya karya sastra di Indonesia dimulai sejak zaman
“Angkatan Pujangga Lama” sebelum abad ke-20. Pada masa ini karya sastra
Indonesia didominasi oleh karya-karya sastra berbahasa akar (bahasa melayu),
seperti syair, pantun, gurindam, dan hikayat. Budaya melayu klasik dan pengaruh
Islam yang kuat mempengaruhi sebagian besar wilayah pesisir pantai Sumatera dan
Semenanjung Malaya. Setelah adanya “Angkatan Pujangga Lama”, muncul lah
“Angkatan Sastra Melayu Lama” yang muncul antara sekitar tahun 1870-1942.
Setelah “Angkatan Sastra Melayu Lama”, muncul lah “Angkatan Balai Pustaka” yang
akan saya bahas dalam makalah ini.
Sebenarnya
angkatan ini dipelopori oleh sebuah penerbit “Balai Pustaka” pada tahun
1920-1950. Karya ini terdiri dari prosa (roman, cerita pendek, novel, dan
drama) dan puisi yang menggantikan syair, pantun, gurindam, dan hikayat yang
mungkin pada masa itu terlalu memberi pengaruh buruk, banyak menyoroti kehidupan
cabul, dan dianggap memiliki misi politis. Balai Pustaka menerbitkan karya
dalam tiga bahasa yaitu bahasa Melayu-Tinggi, bahasa jawa dan bahasa sunda, dan
dalam jumlah terbatas dalam bahasa bali, bahasa batak, dan bahasa Madura.
Pada masa
ini, novel Siti Nurbaya dan Salah Asuhan menjadi
karya yang cukup penting. Keduanya menampilkan kritik tajam terhadap
adat-istiadat dan tradisi kolot yang membelenggu. Dalam perkembangannya,
tema-tema inilah yang banyak diikuti oleh penulis-penulis lainnya pada masa
itu. Tidak hanya itu juga, banyak karya-karya sastra menarik dan cukup
mengilhami pada Angkatan Balai Pustaka, seperti Azab dan Sengsara (Merari
Siregar, 1920), Ken Arok dan Ken Dedes (Muhammad Yamin, 1934), Sengsara Membawa
Nikmat (Tulis Sutan Sati, 1928), dll.
Pada masa
Angkatan Balai Pustaka, Nur Sutan Iskandar dapat disebut sebagai "Raja
Angkatan Balai Pustaka" oleh sebab banyak karya tulisnya pada masa
tersebut. Apabila dilihat daerah asal kelahiran para pengarang, dapatlah
dikatakan bahwa novel-novel Indonesia yang terbit pada angkatan ini adalah
"novel Sumatera", dengan Minangkabau sebagai titik pusatnya. Angkatan
Balai Pustaka bisa disebut masa dimana proses modernisasi karya-karya sastra
terjadi. Dimana tidak lagi terpaut oleh budaya-budaya melayu yang kental.
Balai
Pustaka merupakan suatu angkatan yang sangat berpengaruh kepada perkembangan
perpustakaan baru terutama yang tertulis dengan huruf latin (Usman, 1979: 15).
Hal itu tercermin dengan pindahnya pusat perhatian orang-orang yang berminat
kepada kesusastraan ke Balai Pustaka (Jakarta) yang berpengaruh pada
perkembangan bahasa dari bahasa melayu baru (yang banyak dipengaruhi oleh
bahasa-bahasa daerah dan bahasa surat kabar) kemudian menjelma menjadi bahasa
Indonesia.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa dengan
munculnya angkatan Balai Pustaka maka telah membuka hati para penulis untuk mau
memperlihatkan hasil karyanya yang dulunya menggunakan bahasa daerah kemudian
beralih menggunakan bahasa Indonesia sebagai ungkapan rasa bangga berbangsa
Indonesia. Saelain itu, dengan munculnya angkatan Balai Pustaka maka telah
membuka semangat dan kesadaran para penulis untuk mempersatukan
daerah-daerahnya demi keutuhan bangsa Indonesia. Disisi lain Balai Pustaka
juga dikenal sebagai nama suatu penerbit besar yang berdiri pada sekitar tahun
1920an yang pada tahun tersebut beriringan dengan munculnya angkatan Balai
Pustaka. Munculnya angkatan Balai Pustaka memang disesuaikan dengan karya-karya
besar yang terkenal pada waktu itu yang sebagian besar diterbitkan dari
penerbit Balai Pustaka Jakarta. Berbicara mengenai periodisasi sastra khususnya
Balai Pustaka maka tidak menutup kemungkinan kalau meninjau tentang keadaan
sosial pada tahun 1920an, dimana menurut Teeuw (1980: 15) pada tahun tersebut
merupakan tahun lahirnya kesusastraan Indonesia modern. Pada waktu itu para
pemuda indonesia mulai menyatakan perasaan dan ide yang berbeda dengan
masyarakat setempat. Perasan itu dituangkan dalam bentuk sastra namun
menyimpang dari bentuk sastra melayu, jawa, dan sastra-sastra lain sebelumnya.
1.2 Rumusan masalah
Berdasarkan
permasalan yang telah diungkapkan dalam latar belakang masalah, maka penulis
ingin mengantarkan rumusan masalah sebagai berikut:
a. Sebutkan sejarah berdirinya periode balai pustaka atau
periode tahun 20-an ?
b.
Mengapa disebut angkatan balai pustaka ?
c.
Bagaimana cara mengetahui karakteristik karya sastra yang tergolong masa
periodisasi balai pustaka ?
d. Sebutkan pengarang dan karya sastra yang termasuk pada masa balai
pustaka ?
e.
Apa sebenarnya tugas dari Balai Pustaka ?
1.3 Tujuan
Tujuan
utama makalah “Periodisasi Balai Pustaka” yaitu untuk mengetahui periodisasi
balai Pustaka dan tokoh-tokoh yang ada pada periodisasi tersebut, karya-karya
sastra dan para sastrawannya .
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah
Berdirinya Balai Pustaka
Karya
sastra di Indonesia sejak tahun 1920 – 1950, yang dipelopori oleh penerbit
Balai Pustaka. Prosa (roman, novel, cerita pendek dan drama) dan puisi mulai
menggantikan kedudukan syair, pantun, gurindam dan hikayat dalam khazanah
sastra di Indonesia pada masa ini. Balai Pustaka didirikan pada masa itu untuk
mencegah pengaruh buruk dari bacaan cabul dan liar yang dihasilkan oleh sastra
Melayu Rendah yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian (cabul) dan dianggap
memiliki misi politis (liar). Balai Pustaka menerbitkan karya dalam tiga bahasa
yaitu bahasa Melayu-Tinggi, bahasa Jawa dan bahasa Sunda; dan dalam jumlah terbatas
dalam bahasa Bali, bahasa Batak dan bahasa Madura.
Dengan ditandatanganinya Tractat van London
(Perjanjian London) tahun 1824, jelaslah terpisah Malaysia dan Singapura yang
sekarang dengan Indonesia. Raffles yang tadinya masih bercokol di Bengkulu
harus pindah ke Singapura. Semenjak saat itu aktivitas bahasa dan sastra
terpecah dua. Di Indonesia berpusat di Batavia (Jakarta) sedang di Malaysia dan di Singapura berpusat
di Kuala Lumpur dan Singapura, semenjak masa inilah kedua pusat kegiatan bahas
dan sastra itu berkembang menurut kondisi dan situasi masing-masing. Di
Indonesia sebagai akibat pelaksanaan etische-politick
( politik etis atau politik balas jasa) yang pada waktu itu ramai
dibicarakan di Nederland maupun di Indonesia, maka diusahakanlah aktivitas di
tiga bidang yakni :
Di
bidang irigasi ,
Belanda mulai membuat pengairan -
pengairan, walaupun pengairan- pengairan itu diadakan didaerah-daerah
yang menguntungkan untuk daerah perkebunan yang jadi milik odernemer Belanda.
Di
bidang transmigrasi, Belanda
memindahkan rakyat dari daerah yang padat kedaerah yang jarang penduduknya,
tapi sebenarnya juga hanya memindahkan penduduk ke daerah- daerah perkebunan,
yaknin daerah yang memerlukan tenaga kerja yang murah untuk menjadi buruh
perkebunan.
Di
bidang edukasi, mulailah
didirikan sekolah-sekolah. Untuk tamatan sekolah-sekolah inilah didirikan suatu
badan yang disebut ”commisie voor de
inlandsche school en volkslectuur” (Komisi untuk sekolah-sekolah bumi Putra
dan Bacaan Rakyat_ yang didirikan tahun 1908. Disamping hal tersebut diatas ada
unsur ketakutan pada pemerintah Belanda waktu itu akan berpengaruh buruk dari
bacaan yang sudah mulai bermunculan baik cetakan dalam negeri maupun luar
negeri. Belanda memang juga menyadari bahwa dengan mendirikan banyak
sekolah-sekolah dan dengan banyaknya bacaan dalam masyarakat, bisa membahayakan
kedudukan mereka. Hal ini jelas dikemukakan oleh kepala Balai Pustaka Dra. A.
Rinkes “ hasil pengajaran itu boleh juga mendatangkan bahaya, kalau orang yang
telah tahu membaca itu mendapat kitab-kitab bacaan yang berbahaya yang dari
saudagar kitab yang kurang suci hatinya dan dari orang-orang yang bermaksud
hendak mengacau. Oleh sebab itu bersamaan dengan pengajaran itu, maka haruslah
diadakan kitab-kitab bacaan yang memenuhi kegemaran orang kepada membaca dan
mengajukan pengetahuannya, seboleh-bolehnya menurut tertib dunia sekarang.
Dalam usaha itu harus dijauhkan segala yang dapat merusakkan kekuasaan
pemerintah dan ketentraman negeri”
Selama pemerintahan Hindia-Belanda Balai Pustaka
dipimpin oleh seorang amtenar kepala (hoofdambtenaar), dan terkenallah nama Dr. D.A. Rinkes, Dr. GWJ Drewes, dan Dr. KA.
Hidding. Sedangkan tokoh-tokoh sastrawan Indonesia yang bekerja cukup lama
di Balai Pustaka ialah Adi Negoro, Nur Sutan Iskandar, Sutan Takdir
Alisyahbana, Armyn Pane, K. Sutan Pamuncak, A. Dt. Mojoindo, Sutan Perang
Bustami, H.B Yassin, dan Idrus.
Angkatan
kesusastraan Indonesia balai pustaka, dimulai penghitungannya dari tahun
1920. Kelompok ini disebut dengan angkatan balai pustaka karena pada masa
tersebut buku-buku sastra pada umumnya diterbitkan oleh penerbit balai pustaka.
Lahirnya angkatan balai pustaka pada kesusastraan Indonesia dilakukan untuk
mengurangi pengaruh buruk kesusastraan melayu yang dianggap terlalu cabul dan
liar pada masa itu. Pada angkatan balai pustaka ini, karya sastra yang
dipublikasikan oleh penerbit merupakan karya-karya yang amat memelihara
perbahasaannya, berbeda dengan karya sastra lainnya dengan penggunakan bahasa
sehari-hari sebagai bahasa pengantar sastranya dan bahkan tidak jarang di
antara karya sastra tersebut yang masih menggunakan bahasa daerah sebagai
bahasa pengantar sastra yang mereka hasilkan.
Pada
angkatan balai pustaka, kesusastraan Indonesia lebih bercorak Minangkabau. Hal
ini terjadi karena kebanyakan editor yang ada pada masa balai pustaka memang
berasal dari Sumatra Barat. Masa ini adalah masa ketika penulis dan editornya
lebih banyak berdarah Sumatra, maka bisa dibilang angkatan ini lebih banyak
menghasilkan karya-karya kesumatraan. Selain disebut sebagai angkatan balai
pustaka, karya-karya yang lahir pada masa angkatan kesusastraan ini juga
disebut dengan angkatan dua puluh. Titik awal angkatan balai pustaka dimulai
ketika terbitnya roman Azab dan Sengsara oleh Merari Siregar, yang
disebut juga sebagai awal kebangkitan angkatan balai pustaka.
Karyanya Azab dan Sengsara memang lebih banyak menggunakan Bahasa
Melayu dibandingkan dengan Bahasa Indonesia, karena pada masa itu bahasa
Indonesia masih mengalami perkembangan. Namun, bukan berarti karya Merari ini
tidak dapat diklasifikasikan sebagai karya sastra Indonesia, karena prinsip
dasar sastra Indonesia adalah karya-karya yang dijiwai oleh semangat
nasionalisme Indonesia. Karya sastra di Indonesia sejak tahun 1920 – 1950, yang
dipelopori oleh penerbit Balai Pustaka. Prosa (roman, novel, cerita pendek dan
drama) dan puisi mulai menggantikan kedudukan syair, pantun, gurindam dan
hikayat dalam khazanah sastra di Indonesia pada masa ini. Balai Pustaka
didirikan pada masa itu untuk mencegah pengaruh buruk dari bacaan cabul dan
liar yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah yang banyak menyoroti kehidupan
pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki misi politis (liar). Balai Pustaka
menerbitkan karya dalam tiga bahasa yaitu bahasa Melayu-Tinggi, bahasa Jawa dan
bahasa Sunda; dan dalam jumlah terbatas dalam bahasa Bali, bahasa Batak dan
bahasa Madura.
2.2 Alasan Disebut Sebagai Balai Pustaka
Balai Pustaka disebut angkatan 20an
atau populernya dengan sebutan angkatan Siti Nurbaya. Menurut Sarwadi (1999:
25) nama Balai Pustaka menunjuk pada dua pengertian:
1. sebagai nama penerbit
2. sebagai nama suatu angkatan
dalam Sastra Indonesia
Menurut Sarwadi (1999: 27) Balai
Pustaka mempunyai pengaruh terhadap perkembangan sastra Indonesia yaitu dengan
keberadaanya maka sastrawan Indonesia dapat melontarkan apa yang menjadi beban
pikirannya melalui sebuah tulisan yang dapat dinikmati oleh dirinya sendiri dan
juga orang lain (penikmat sastra). Balai Pustaka mempunyai tujuan untuk
memberikan konsumsi berupa bacaan kepada rakyat yang berisi tentang politik
pemerintahan kolonial, sehingga dengan hal itu Balai Pustaka telah memberikan
informasi tentang ajaran politik kolonial. Berdasarkan penyataan tersebut maka
dengan didirikannya Balai Pustaka telah memberikan manfaat kepada rakyat
Indonesia karena sasrta Indonesia menjadi berkembang. Dilihat dari perkembangan
sastranya, Balai Pustaka yang memiliki maksud dan tujuan pendiriannya, maka
pasti menetapkan persyaratan-persyaratan didalam menyaring suatu karya sastra. Dengan
adanya persyaratan-persyaratan tersebut maka
menimbulkan berbagai macam pandangan orang terhadap Balai Pustaka. Hal itu merupakan suatu kelemahan atau permasalahan dari balai Pustaka yang kurang diperhatikan keberadaannya. Menurut Sarwadi (1999: 29) permasalahan itu diantanya meliputi:
a. Roman terpenting yang diterbitkan Balai Pustaka pada tahun 20an ialah Salah Asuhan karya Abdul Muis. Dalam karya itu pengarang lerbih realistis didalam menyoroti masalah kawin paksa. Selain itu berisi juga tentang pertentangan antara kaum muda dengan kaum tua dalam pernikahan. Yang menjadi permasalan bagi pengarang ialah akibat-akibat lebih jauh dari pertemuan kebudayaan Eropa yang masuk dalam tubuh anak-anak bangsanya melalui pendidikan sekolah kolonial Belanda.
menimbulkan berbagai macam pandangan orang terhadap Balai Pustaka. Hal itu merupakan suatu kelemahan atau permasalahan dari balai Pustaka yang kurang diperhatikan keberadaannya. Menurut Sarwadi (1999: 29) permasalahan itu diantanya meliputi:
a. Roman terpenting yang diterbitkan Balai Pustaka pada tahun 20an ialah Salah Asuhan karya Abdul Muis. Dalam karya itu pengarang lerbih realistis didalam menyoroti masalah kawin paksa. Selain itu berisi juga tentang pertentangan antara kaum muda dengan kaum tua dalam pernikahan. Yang menjadi permasalan bagi pengarang ialah akibat-akibat lebih jauh dari pertemuan kebudayaan Eropa yang masuk dalam tubuh anak-anak bangsanya melalui pendidikan sekolah kolonial Belanda.
b. Novel Belenggu karya Armin Pane
pernah ditolak oleh Balai Pustaka karena isinya dianggap tidak bersifat
membangun dan tidak membantu budi pekerti. Kemudian noel itu disadur oleh
Pujangga Baru tahun1938, dan dicetak ulang oleh Balai Pustaka.
2.3
Cara Mengetahui Karakteristik Karya Sastra yang Tergolong
Periodisasi Balai Pustaka
Setiap
karya sastra pasti mempunyai ciri-ciri dalam sastranya. Hal ini berpengaruh
pada masa sastra itu dibuat. Seperti karakteristik umum karya sastra pada masa
Balai Pustaka pada periode 1920 yaitu sebagai berikut :
1)
Umumnya masih
belum terlepas dari sifat kesusastraan Melayu lama
2)
Inti cerita
tentang pertentangan paham antara kaum tua dan kaum muda. Kaum tua
mempertahankan adat lama sedangkan kaum muda mengkehendaki kemajuan menurut
paham kehidupan modern
3)
Bersifat
didaktik, sifat ini berpengaruh sekali pada gaya pencitraan dan struktur
penceritaannya. Semuanya ditunjukkan kepada pembaca untuk memberi nasihat
4)
Bersifat
kedaerahan, latar cerita pada umumnya latar daerah, pedesaan, dan kehidupan
daerah
5)
Gaya bahasa yang
digunakan perumpamaan klise, pepatah-pepatah, dan peribahasa namun mempergunkan
bahasa percakapan sehari-hari yang lain dari bahasa hikayat sastra lama
6)
Alur roman
sebagian besar alur lurus dan ada juga yang mempergunakan alur sorot balik,
misalnya azab dan sengsara
7)
Banyak digresi,
yaitu banyak sisipan-sisipan peristiwa yang tidak berlangsung berhubungan
dengan inti cerita, seperti uraian adat, dongeng-dongeng, syair dan pantun
nasihat
8)
Bercorak
romantis melarikan diri dari masalah kehidupan sehari-hari yang menekan
9)
Bermasalah adat,
terutama masalah adat kawin paksa, pemaduan dan sebagainya
10) Cerita bermain di zaman sekarang, bukan ditempat dan
zaman antah-berantah, dan cita-cita kebangsaan belum dipermasalahkan serta
masig bersifat kedaerahan
11) Pada awalnya pengarang didominasi oleh orang
Sumatera, akan tetapi setelah Sumpah Pemuda tahun 1928 muncul
pengarang-pengarang dari daerah lain
v Segi Positif dan
Negatif Balai Pustaka
Seperti sudah dikemukakan di atas segi positif Balai
Pusataka besar sekali yakni :
1.
Menerbitkan
buku-buku dan majalah-majalah dengan harga murah.
2.
Mendirikan
perpustakaan-perpustakaan.
3.
Menggalakkan
rakyat untuk membaca.
4.
Tempat
penampungan hasrat dan keinginan pengarang untuk maju di bidang karang-mengarang.
5.
Tempat bimbingan
bagi pengarang dan dorongan untuk maju terutama dibidang bahasa.
Segi Negatif dari Balai Pustaka yakni :
1.
Memakai
syarat-syarat tertentu untuk karya-karya yang akan diterbitkan sebelum
diterbitkan harus diperbaiki lebih dahulu oleh redaksi Balai Pustaka sehingga
nilai sastra telah merosot setelah diadakan perbaikan oleh Balai Pustaka.
Perbaikan dan penyesuaian ini telah merugikan karya itu dilihat dari segi
sastra.
2.
Mengenakan
syarat politik dan moral terhadap karya-karya yang akan diterbitkan.
3.
Perubahan atau
penyesuaian dari Balai Pustaka ini sudah merupakan perubahan yang merusak jalan
cerita.
v Ciri-ciri dan
pokok garapan Balai Pustaka
a.
Ciri umum yang
paling menonjol ialah tujuan atau tendensnya
Hampir seluruh karya sastra Balai Pustaka jelas
sekali tujuan atau tendensnya yakni bersifat mengajar atau mendidik.
b.
Ciri umum kedua
ialah sifatnya yang romantis-sentimentalis
Sifat romantis ini terlihat pada nadanya. Nada itu
timbul akibat persoalan yang dibicarakan selalu tentang percintaan dan kisah
hidup muda remaja yang sedang mabuk asmara. Percintaan ini selalu diiringi
dengan rintangan adat atau sikap orang tua yang tidak menyetujui pilihan
anak-anaknya. Dengan demikian timbul lah kesengsaraan dan penderitaan yang
tiada terhingga. Sifat romantis-sentimentalis ini membawa beberapa orang
pengarang kepada masa silam.
2.4 Pengarang dan Karya Sastra yang Termasuk Pada Masa Balai
Pustaka
Balai
pustaka merupakan penerbit yang mempunyai kehormatan dibandingkan dengan
penerbit-penerbit lain. Hal ini terlihat dari sejarah Balai Pustaka itu
sendiri. Melihat hal demikian mengakibatkan banyaknya para sastrawan
mencetakkan karyanya ke Balai Pustaka dengan maksud untuk mendidik masyarakat
dalam urusan baca tulis, pengetahuan umum dan informasi lainnya. Karena pada
masa itu alat informasi seperti radio sangat sulit ditemukan sehingga para
sastrawan memanfaatkan Balai Pustaka untuk mencerdakan bangsa, melihat peranan
Balai Pustaka wajar sekali jika pada masa itu para sastrawan kebanyakan sebagai
jurnalis atau seorang guru. Sebagai ilustrasi, dari Antologi Biografi Pengarang Sastra Indonesia 1920-1950 (Rustapa,1997)
dan Buku Pintar Sastra Indonesia ( Eneste,2001b)
tercatat sejumlah tokoh dan karyanya sebagai berikut :
1.
Abdul Muis
(lahir
di Solok, Sumatera Barat, tahun 1886, meninggal di Bandung 17 Juli 1959)
berpendidikan sekolah kedokteran (STOVIA) Jakarta, pernah menjadi wartawan,
bergiat dalam Syarikat Islam, dan pernah menjadi anggota Dewan Rakyat
(1920-1923). Namun terkenal karena novel Salah
Asuhan (1928), Pertemuan Jodoh (1933),
Surapati (1950) dan Robert Anak Surapati (1953)
a. Karangan
asli
Salah
pilih (dikarang dengan nama samaran Nur Sinah tahun 1928), Karena Mertua (tahun
1932), Hulubalang Raja (novel sejarah oleh Teeuw dipandang yang terbaik), Katak
Hendak Jadi lembu, Neraka Dunia (1973), Cinta tanah Air (novel yang terbit pada
jaman Jepang tahun1944), Mutiara (1946), Cobaan (1947), Cinta dan Kewajiban
(dikarang bersama dengan I.Wairata).
b. Karangan terjemahan
Anjing
Setan – A. Canon Doyle, Gidang Intan Nabi Sulaiman – Rider Haggard, Kasih
Beramuk dalam Hati – Beatrice Harraday, Tiga Panglima Perang - Alexander Dumas,
Graaf De Monto Cristo – Alexander Dumas, Iman dan Pengasihan – H Sien Klewiex,
Sepanjang Gaaris kehidupan – R Casimir.
Hasil
karya :sinopsis Salah Asuhan (1928)
c. Karangan saduran
Pengajaran
Di Swedwn – Jan Lightair, Pengalaman Masa Kecil – Jan Lighard, Pelik-pelik
Kehidupan – Jan Lighard, Si Bakil – Moliere Lavare, Abu Nawas, Jager Bali,
Korban Karena Penciiptaan, Apa Dayaku karena Aku Seoarng Perempuan, Dewi Rimba
d. Catatan harian
Ujian
Masa (21-7-1947 s/d 1-4-1948)
2.
Marah
Rusli ( lahir di Padang, 7 Agustus 1889, meninggal di Bandung 17
Januari 1968) berpendidikan sekolah Dokter Hewan di Bogor (1915), pernah
menjadi mayor Angkatan Laut RI di Tegal (1945) dan dosen Sekolah Tinggi Dokter
Hewan di Klaten (1948). Namanya terkenal karena novel atau roman Sitti Nurbaya (1922) yang pada tahun
1969 menerima hadiah dari Pemerintah Republik Indonesia, Sinetron Sitti Nurbaya dengan aktor Gusti Rnda,
H.I.M Damsyik, dan aktris Novia Kolopaking pernah populer juga di layar kaca
televisi Indonesia.
Hasil
karya : Nurbaya (1922)
Siti Nurbaya merupakan kisah klasik
Indonesia. Kisah tragis yang tetap dikenang sampai sekarang. Berkisah tentang
dua orang pemuda pemudi, Samsulbahri, putra dari bangsawan, Sultan Mahmud Syah
dan Siti Nurbaya, putri dari saudagar kaya, Baginda Sulaiman. Mereka telah
bertetangga sejak kecil. Hubungan persahabatan antara kedua remaja ini lama
kelamaan berubah menjadi cinta, yang baru mereka sadari saat Samsulbahri akan
berangkat ke Jakarta untuk melanjutkan sekolahnya.
Sementara itu, Datuk Maringgih, seorang saudagar kaya di Padang, berusaha untuk menjatuhkan kedudukan Baginda Sulaiman karena iri terhadap harta kekayannya. Ia menyuruh anak buahnya membakar toko-toko dan semua harta kekayaan Baginda Sulaiman. Akhirnya Baginda Sulaiman jatuh miskin, tapi ia tidak mengira hal ini diakibatkan oleh akal licik Datuk Maringgih. Ia meminjam sejumlah uang tanpa prasangka apapun. Akan tetapi bagi Datuk maringgih, kedatangan Baginda Sulaiman memang sangat diharapkan. Ia meminjamkan uang dengan syarat harus melunasi dalam waktu tiga bulan. Pada saat yang
Sementara itu, Datuk Maringgih, seorang saudagar kaya di Padang, berusaha untuk menjatuhkan kedudukan Baginda Sulaiman karena iri terhadap harta kekayannya. Ia menyuruh anak buahnya membakar toko-toko dan semua harta kekayaan Baginda Sulaiman. Akhirnya Baginda Sulaiman jatuh miskin, tapi ia tidak mengira hal ini diakibatkan oleh akal licik Datuk Maringgih. Ia meminjam sejumlah uang tanpa prasangka apapun. Akan tetapi bagi Datuk maringgih, kedatangan Baginda Sulaiman memang sangat diharapkan. Ia meminjamkan uang dengan syarat harus melunasi dalam waktu tiga bulan. Pada saat yang
Ditentukan , Datuk pun datang
menangih janji.
Malang bagi Baginda
Sulaiman. Ia tidak dapat melunasi utang. Datuk Maringgih yang tidak mau rugi,
mengancam akan memenjarakan Baginda Sulaiman, kecuali Baginda menyerahkan Siti
Nurbaya untuk dijadikan istri mudanya. Awalnya baginda menolak, karena ia tidak
mau putrinya menjadi korban hidung belang Datuk Maringgih. Ia pasrah menjalani
hukuman. Saat itulah, Siti Nurbaya keluar dari kamar dan menyatakan bersedia
menjadi istri muda Datuk Maringgih, asal ayahya bebas dari utangnya.
Samsulbahri yang
mendengar peristiwa itu, ikut prihatin. Oleh karena itu, saat liburan, ia
pulang ke Padang dan menyempatkan menengok Baginda Sulaiman yang sedang
sakit.Kebetulan, saat itu Siti Nurbaya sedang menjenguk ayahnya. Merekapun
saling menceritakan pengalaman masing-masing. Hal ini diketahui Datuk maringgih
dan ia mengira mereka berdua melakukan perbuatan yang tidak pantas.
Pertengkaran tak dapat dihindarkan. Ayah Siti Nurbaya yang berusaha melerai,
terjatuh dari tangga dan menemui ajal. Selain itu, ayah Syamsul Bahri yang malu
atas tuduhan itu, mengusir anaknya. Sementara itu, Siti Nurbaya merasa bebas
dan tidak perlu lagi tunduk pada Datuk Maringgih, memilih tinggal
Dengan keluarganya.
Tapi akal licik Datuk
Maringgih tidak berhenti sampai disitu. Sekali waktu dia menuduh Siti Nurbaya
mencuri perhiasannya, sehingga ia tidak dapat menyusul Samsulbahri ke Jakarta.
Belum puas, ia menyuruh seseorang meracuni Siti Nurbaya, yang mengakibatkan
Siti Nurbaya meninggal. Hal ini mengakibatkan ibu Samsulbahri sedih dan
meninggal dunia.
Samsulbahri yang mengetahui hal tersebut sangat sedih dan mencoba bunuh diri. Ia berhasi diselamatkan.
Ia yang frustasi kemudian menjadi serdadu belanda, dengan nama Letnan Mas dan mendapat tugas menumpas pemberontakan di Padang. Ia mendapat perlawanan sengit namun berhasil menumpasnya bahkan berhasil membunuh Datuk Maringgih, si dalang pemberontakan. Karena luka parah, ia dirawat dirumah sakit. Saat itu, timbul keinginannya untuk berjumpa sang ayah. Pada saat terakhir, ia berhasil memberitahu ayahnya bahwa ia, Samsulbahri, masih hidup. Setelah mengucapkan hal itu, ia menghembuskan nafas terakhirnya. Sang ayah yang terkejut dan berduka, ikut menghembuskan nafas terakhir keesokan harinya.
Samsulbahri yang mengetahui hal tersebut sangat sedih dan mencoba bunuh diri. Ia berhasi diselamatkan.
Ia yang frustasi kemudian menjadi serdadu belanda, dengan nama Letnan Mas dan mendapat tugas menumpas pemberontakan di Padang. Ia mendapat perlawanan sengit namun berhasil menumpasnya bahkan berhasil membunuh Datuk Maringgih, si dalang pemberontakan. Karena luka parah, ia dirawat dirumah sakit. Saat itu, timbul keinginannya untuk berjumpa sang ayah. Pada saat terakhir, ia berhasil memberitahu ayahnya bahwa ia, Samsulbahri, masih hidup. Setelah mengucapkan hal itu, ia menghembuskan nafas terakhirnya. Sang ayah yang terkejut dan berduka, ikut menghembuskan nafas terakhir keesokan harinya.
3.
Merari
Siregar (lahir di Sipirok,
Sumatera Utara, 13 Juni 1896, meninggal di \
Kalianget,
Madura 23 April 1940) berpendidikan Handels-correspondent
Bond A di Jakarta (1923), pernah bekerja sebagai guru di Medan, Rumah Sakit
Umum Jakarta dan Opium dan Zoutteregie Kalianget. Novelnya Azab dan Sengsara (1920) lazim dianggap sebagai awal kesusastraan
Indonesia
Hasil
karya : Azab dan Sengsara (1920)
Novel
yang satu ini bisa dikategorikan novel klasik terbitan Balai Pustaka. Ia menandai zaman dimana
sastra Indonesia masih didominasi penggunaan bahasa melayu yang kental. Adapun
tema umum novel yang satu ini adalah kehidupan percintaan seorang gadis yang
pernikahannya tidak membawa pada hidup yang bahagia tetapi justru pada
kesengsaraan. Tokoh sentral dalam kisah cinta ini bernama Mariamin dan
Aminu’ddin. Keduanya berkerabat dekat tetapi berbeda nasib. Aminu’ddin
merupakan anak kepala kampong, seorang bangsawan yang kaya raya dan disegani
banyak orang. Sementara itu Mariamin tumbuh di lingkungan keluarga yang miskin.
Sejak kecil keduanya sudah berkenalan dan bermain bersama. Beranjak dewasa,
Aminu’ddin dan Mariamin merasakan getaran cinta yang kuat. Aminu’ddin berjanji
akan menikahi Mariamin. Niatnya ini diutarakan pada ibu dan ayahnya, Baginda
Diatas. Sang ibu setuju sebab ia menganggap Mariamin masih keluarganya dan
dengan menikahkannya dengan Aminu’ddin, ia bisa menolong kemiskinan gadis itu.
Namun, pendapat berbeda datang dari ayah Aminu’ddin yakni Baginda Diatas. Ia
diam-diam tidak menyetujui rencana Aminu’ddin sebab ia beranggapan pernikahan
tersebut tidak pantas dan akan menurunkan derajat bangsawannya.
Untuk mewujudkan niatnya, akhirnya Aminu’ddin berangkat ke Medan untuk mencari kerja. Saat di Medan, ia masih rajin berkirim kabar dengan Mariamin. Sampai suatu waktu, ia akhirnya mengirim berita ke kampung bahwa ia sudah siap untuk berumahtangga dengan wanita pujaannya tersebut. Sayangnya, Baginda Diatas, ayah Aminu’ddin tidak setuju. Ia menyusun rencana agar isterinya tidak menyetujui keinginan Aminu’ddin. Caranya, ia membawa isterinya ke dukun sewaan dan pura-pura meramal jodoh terbaik untuk Aminu’ddin, anaknya. Sang dukun berkata bahwa jodoh Aminu’ddin bukanlah Mariamin melaikan seorang gadis bangsawan di desa mereka. Ibu Aminu’ddin pun percaya dan setuju berangkat ke Medan dengan membawa gadis bangsawan yang hendak dinikahkan dengan Aminu’ddin.
Saat mereka tiba di Medan, Aminu’ddin kaget sebab keputusan orangtuanya menjodohkan dengan gadis tersebut memukul jiwanya. Tapi ia tak bisa menolak sebab saat itu ia terikat adat busaya yang harus selalu patuh pada keputusan orang tua. Akhirnya Aminu’ddin mengirim surat kepada Mariamin sambil memohon maaf karena ia terpaksa menikahi gadis lain meskipun tanpa cinta. Mendengar kabar terebut, Mariamin sangat sedih. Ia bahkan sempat sakit. Setahun berselang, ibu mariamin akhirnya menerima pinangan seorang laki-laki bernama Kasibun. Ia berharap pernikahan tersebut akan mengobati luka Mariamin. Akan tetapi apa yang diniatkan ibu Mariamin tidak terjadi. Pernikahan tersebut malah menambah penderitaan lain bagi Mariamin. Sebab, ternyata Kasibun memiliki isteri
Untuk mewujudkan niatnya, akhirnya Aminu’ddin berangkat ke Medan untuk mencari kerja. Saat di Medan, ia masih rajin berkirim kabar dengan Mariamin. Sampai suatu waktu, ia akhirnya mengirim berita ke kampung bahwa ia sudah siap untuk berumahtangga dengan wanita pujaannya tersebut. Sayangnya, Baginda Diatas, ayah Aminu’ddin tidak setuju. Ia menyusun rencana agar isterinya tidak menyetujui keinginan Aminu’ddin. Caranya, ia membawa isterinya ke dukun sewaan dan pura-pura meramal jodoh terbaik untuk Aminu’ddin, anaknya. Sang dukun berkata bahwa jodoh Aminu’ddin bukanlah Mariamin melaikan seorang gadis bangsawan di desa mereka. Ibu Aminu’ddin pun percaya dan setuju berangkat ke Medan dengan membawa gadis bangsawan yang hendak dinikahkan dengan Aminu’ddin.
Saat mereka tiba di Medan, Aminu’ddin kaget sebab keputusan orangtuanya menjodohkan dengan gadis tersebut memukul jiwanya. Tapi ia tak bisa menolak sebab saat itu ia terikat adat busaya yang harus selalu patuh pada keputusan orang tua. Akhirnya Aminu’ddin mengirim surat kepada Mariamin sambil memohon maaf karena ia terpaksa menikahi gadis lain meskipun tanpa cinta. Mendengar kabar terebut, Mariamin sangat sedih. Ia bahkan sempat sakit. Setahun berselang, ibu mariamin akhirnya menerima pinangan seorang laki-laki bernama Kasibun. Ia berharap pernikahan tersebut akan mengobati luka Mariamin. Akan tetapi apa yang diniatkan ibu Mariamin tidak terjadi. Pernikahan tersebut malah menambah penderitaan lain bagi Mariamin. Sebab, ternyata Kasibun memiliki isteri
Yang diceraikannya dengan alasan
ingin menikashi Mariamin.
Pada akhirnya Mariamin tak sanggup lagi dan akhirnya melaporkan suaminya, Karibun, ke polisi. Akhirnya Karibun ditetapkan bersalah dan diwajibkan membayar denda serta melepaskan Mariamin tak lagi jadi isterinya. Mariamin akhirnya kembali ke desanya dan hidup menderita di sana. Ia sakit-sakitan hingga akhirnya meninggal dunia dalam derita.
4.
Muhammad
Kasim ( lahir di Muara Sipongi, Sumatera Utara tahun 1886)
berpendidikan
sekolah guru dan hingga tahun 1935 menjadi guru sekolah rakyat. Kumpulan
cerpennya Teman Duduk (1936) lazim
disebut awal tradisi kumpulan cerpen sastra Indonesia. Bukunya yang berjudul Si Samin mendapat hadiah Sayembara Buku
Anak-anak Balai Pustaka tahun 1924, kemudian terbit lagi tahun 1928 dengan
judul Pemandangan dalam Dunia
Kanak-kanak. Karyanya yang lain novel Muda
Teruna (1922) kumpulan cerpen Lertengker
Berbisik, kumpulan cerpen Buah di
Kedai Kopi, Niki Bahtera terjemahan karya C.J Kievier dan Pangeran Hindi terjemahan karya Lewis
Wallance (1931)
Hasil
Karya : Si Samin

5.
Nur Sutan
Iskandar ( lahir di Sungaubatang, Sumatera Barat, 3 November
1893 meninggal
di Jakarta 28 November 1975) berpendidikan sekolah guru, pernah menjadi guru
dan redaktur Balai Pustaka hingga pensiun. Namanya terkenal karena menghasilkan
sejumlah novel Apa Dayaku karena Aku
Perempuan (1922), Salah Pilih (1928),
Katak Hendak Menjadi Lembu (1934), Neraka Dunia (1937), Cinta Tanah Air (1944),
Mutiara (1946) dan Jangir Bali (1946)
Hasil
karya : Apa Dayaku karena Aku Perempuan (1922)
Aku mau bersekolah karena Mamaknya
orang yang berkuasa. Mamak lebih berkuasa daripada Bapak. Adat kebiasaan di
kampung, kemenakan lebih dahulu ditawarkan oleh Mamaknya sebelum di berikan
orang lain. Mamak meninggal, hilang sudah tempat pergantunganku. Tunangannya
datang ke rumah. Ia ingin pergi ke Jakarta karena tidak nyaman tinggal di
kampung. Ia adalah pengganti Ibu yang sudah meninggal. Ia berjanji jika sudah
setahun ia akan kembali ke kampung. Aku risau, karena sebagian besar anak
laki-laki yang sekolah di Jakarta tidak mau pulang ke kampung halaman.
Teman-teman banyak yang datang mengadu kepadaku akibat menikah muda. Aku tidak
boleh membantah, karena ini adalah kehendak orang tua.
Sebagian
besar suami tidak bertanggung jawab atas masalah kawin paksa. Mereka menganggap
perempuan seperti benda yang tidak bernyawa. Semua keluarga pasti malu kalau
anak gadisnya tidak cepat-cepat menikah, tetapi menikah di bawah umur
mendatangkan banyak masalah. Ani adalah perempuan yang berterus terang. Harta
yang ia punya adalah
milik Mamaknya dan hasil usaha
Bapaknya. Seorang ayah bersifat otokratik terhadap anak perempuannya, bila ia
menyekolahkan anaknya dan terlibat dengan cinta.
Ani
terpaksa menulis surat surat untuk kekasihnya supaya menjemputnya segera,
walaupun ia tahu kehidupan kekasihnya belum mapan. Saat kekasihnya menerima
surat, permintaannya belum dapat dikabulkan. Kekasihnya ingin ia menikah ketika
umurnya sudah cukup.
Bapak Ani meminta kekasih Ani untuk
megirim ulang surat dan perhelatan akan segera berlangsung. Kalau tidak
mengirim surat putus, ia harus mengirim surat talak untuk isterinya. Keluarga harus
menutup malu jika anak perempuannya tidak cepat-cepat berkeluarga. Menikah
sebelum berpencarian akan menimbulkan masalah besar dalam keluarga. Pandangan
generasi tua selalu berkaitan dengan Agama Islam, menikah di usia tua seperti
meniru orang Belanda. Ayah merasa menyesal karena Mamak menyekolahkan Ani
karena akhirnya Ani tidak menurut dengan orang tua. Sesuatu yang baru sulit
dirubah walaupun ada kebenarannya.
Mamak
Datok Hitam mempunyai pikiran yang sama dengan Ani. Setelah terima surat dari
kekasihnya, Mamak Datok Hitam akan pulang ke kampung dan menjelaskan yang
sebenarnya. Amak Datok Hitam bukanlah Mamak kandung, ia selalu di dengar dan di
hormati masyarakat kampung.
Peranan Mamak Datok Hitam adalah
memberikan budi pekerti yang lembut, serta memberikan jasa, pendidikan, dan
pertanian kepada kampung. Pikiran Mamak Datok Hitam selalu berkaitan dengan
pernikahan usia muda. Ia selalu diterima dengan 2 cara, dengan setuju, dan
disindir secara halus yang masih kebiasaan rdilakukan oleh masyarakat kampung.
Durkana
menangguhkan perkawinan karena ingin menguatkan diri dengan senjata hidup dan
Ani yang berjanji akan menunggu waktu yang tepat. Mak Datok Hitam berperan
bahwa laki-laki harus menaruh belas kasihan terhadap isteri. Mamak datok Hitam
berpendapat bahwa laki-laki lupa dengan perasaan perempuan, seperti orang
bangsawan yang menganiaya kaum perempuan dan orang tua yang ingin beristeri
muda. Durkana menceritakan kepada keluarga yang nantinya ia akan
menjadi suaminya dan pernikahan itu tidak diputuskan;
Kemunculan
mereka itu wajar karena berasal dari Sumatera yang sangat dekat dengan
Bahasa
Melayu yang dijadikan bahasa penting Balai Pustaka. Namun tidak lama, muncullah
pengarang dari berbagai daerah seperti R.Soengkana, Paulus Supit, M.R. Dayoh,
Hersevien Taulu, H.S.D Muntu, I Gusti Njoman Panji Tisna, M.W. Asmawinangun,
D.Surandi, Ardi Soma, dan S.Wairata. Dari tangan mereka telah terbit puluhan
roman Balai Pustaka tahun 1920-an dan 1930-an.
Sebagai ancangan, baiklah dikenali
secukupnya roman-roman terbitan Balai Pustaka yang hampir selalu disebut dalam
berbagai buku pelajaran, antara lain :
a.
Asmara
Jaya (adinegoro)
b.
Azab dan
Sengsara ( Merari Siregar)
c.
Hulubalang
Raja (Nur Sutan Iskandar)
d.
Kalau Tak
Untung ( Selasih)
e.
Katak
Hendak Menjadi Lembu (Nur Sutan Iskandar)
f.
Mencari
Pencuri Anak Perawan ( Sumani Hs)
g.
Muda
Temura ( Muhammad Kasim)
h.
Ni Rawit
Cari Penjual Orang ( A.A Panji Tisna)
i.
Pencobaan
Setia ( Suman Hs)
j.
Pertemuan
Jodoh ( Abdul Muis)
k.
Salah
Asuhan (Abdul Muis)
l.
Sengsara
Membawa Nikmat (Tulis Sutan Sati)
m.
Siti
Nurbaya ( Marah Rusli)
n.
Sukreni
Gadis Bali ( A.A. Panji Tisna)
Dengan
kata lain, roman-roman Balai Pustaka tahun 1920-an dan 1930-an yang sudah
Menjadi
sejarah bukanlah barang kuno yang boleh dilupakan. Melainkan khazanah budaya
yang selalu terbuka terhadap peristiwa baru contohnya saja dalam karya Salah Asuhan Karangan Abdul Muis
terungkap data bahwa teks roman itu berbeda dengan naskah aslinya.
Dalam
naskah aslinya jalan ceritanya sungguh berbeda sekali. Corrie dilukiskan
sebagai gadis pesolek yang sangat menyenangi pergaulan bebas. Berkat bujukan
tante Lien ia bergaul intim dengan pemain orkes keroncong bernama Jantje,
bahkan ia telah berani menjual dirinya kepada seorang Arap kaya, kepada seorang
Kapten kapal, dan lain-lain. Inilah sebab utama pertikaian dan perceraiannya
dengan Hanafi, disamping perbedaan bangsa dan perbedaan lingkungan yang mereka
rasakan setelah perkawinan. Akhirnya Corrie yang telah terjerumus kedalam
kehidupan sebagai pelacur umum, mati oleh salah seorang langganannya karena
iri.
Melihat
naskah yang asli itu wajarlah kalau Volkslectur( yang dipimpin dan diasuh oleh
pemerintah Belanda) keberatan menerbitkannya (Bakar, 1985:17). Terlepas dari
tawaran siapa pun terhadap pentingnya pengkajian yang mendalam mengenai
penerbit-penerbit di luar Balai Pustaka, jelas lah bahwa Balai Pustaka yang
hingga tahun 1942 merupakan badan Penerbit Kolonial Belanda itu telah banyak
sumbangannya dalam menumbuhkan tradisi baru kehidupan Sastra Indonesia.
Seandainya pada zaman itu tidak ada Balai Pustaka, mungkin saja tidak muncul
dan berkembang Pujangga Baru.
v Pokok Garapan Novel-novel Balai Pustaka
1.
Konflik orang muda dengan orang tua, seperti kelihatan pada
pertentangan antara golongan adat dengan golongan yang menentang adat. Konflik
ini kelihatan pada novel Azab dan Sengasara, Sitti Nurbaya dan kebanyakan roman
Balai Pustaka lainnya.
2.
Konflik antara orang Timur dan Barat, konflik antara orang Indonesia
dengan orang Belanda. Orang-orang Belanda mendapat kedudukan yang tinggi dalam
jabatan dan dalam masyarakat. Orang Indonesia yang terpelajar dan bercita-cita
tinggi ingin mencapai kedudukan sosial seperti orang Belanda. Hal ini terlihat
jelas dalam novel Salah Asuhan .
3.
Kawin Paksa, Perkawinan merupakan persoalan masyarakat dan
persoalan keluarga. Maka perkawinan tidak dibentuk oleh individu tapi oleh
keluarga dan masyarakat. Hal ini terlihat jelas dalam novel seperti karena
mertua, cincin stempel dan karena anak kandung.
2.5
Tugas Balai Pustaka
Badan
ini bertugas menerbitkan buku-buku yang baik untuk meningkatkan kecerdasan
masyarakat. Buku-buku itu ada yang berupa dongeng, cerita-cerita lama,
hikayat-hikayat, pengetahuan umum, seperti cara bercocok tanam, beternak,
berttukang dan lain-lain.
Disamping
itu juga badan ini mengusahakan taman pustaka atau perpustakaan yang
ditempatkan di sekolah-sekolah rakyat. Dengan makin banyaknya tamatan sekolah
yang memerlukan bahan-bahan bacaan maka bertambah pula buku-buku yang
diterbitkan. Maka badan ini akhirnya diperluas dan diperbesar dan namanya pun
diganti menjadi Balai Pustaka tahun 1917. Balai Pustaka menjadi lebih penting
kedudukannya, sehingga memerlukan petugas-petugas khusus untuk memimpin dan
mengasuhnya.
Tugas badan ini dapat dikemukakan
sebagai berikut :
1.
Mengumpulkan
serta mencatat semua cerita-cerita dikalangan masyarakat.
2.
Menerbitkan
cerita-cerita yang telah dikumpulkan tersebut.
3.
Menterjemahkan
cerita-cerita yang berasal dari luar negeri, sejauh tidak bertentangan dengan
politik pemerintahan Belanda di Indonesia.
4.
Menerbitkan
majalah-majalah untuk bahan bacaan masyarakat.
5.
Menyelenggarakan
Perpustakaan.
6.
Menerbitkan
karangan asli tulisan-tulisan orang Indonesia.
7.
Membimbing
pengarang-pengarang Indonesia dalam arti memberi kesempatan untuk menulis dan
memberi dorongan untuk kemajuan di bidang karang-mengarang.
Usaha Balai Pustaka menerbitkan buku-buku bacaan
mencapai kemajuan yang sangat
Pesat, baik buku-buku tentang pengetahuan,
kebudayaan, ekonomi, kamus, atlas dan lainnya.
Jumlah buku-buku yang diterbitkan sampai tahun 1942
hampir 2000 judul, tidak termasuk cetak ulang, almanak dan majalah-majalah.
Pada akhir setiap tahun dijual kira-kira 300.000 buku. Pada tahun 1922 Balai
Pustaka mulai menerbitkan majalah-majalah
diantaranya “Panji-Pustaka”
majalah setengah mingguan dalam bahasa melayu, ”Kejawen”, majalah setengah mingguan dalam bahasa jawa, “Peralu-jangan” majalah mingguan dalam
bahasa sunda dan juga “Sri Pustaka” majalah
bulanan dalam bahas melayu. Semenjak tahun 1911 pemerintah menyelenggarakan
Perpustakaan. Usaha ini dikembangkan sehingga hampir tiap-tiap sekolah rakyat
kelas dua mempunyai perpustakaan. Buku-buku dipinjamkan dengan memungut bea
yang sangat rendah.
Karena
Balai Pustaka sebagai badan penerbitan dan pusat kesusastraan menerima naskah
karangan yang banyak sekali maka petugas-petugas balai pustaka mulai mengadakan
penyaringan dan seleksi. Jika isinya cukup memuaskan maka akan diterbitkan jika
tidak maka tidak akan diterbitkan. Hak pengarang menjadi milik Balai Pustaka
tapi pengarang mendapat honorium yang cukup besar.
Syarat-syarat
yang ditetapkan oleh pemerintah Belanda yaitu :
a)
Tidak boleh
menyinggung agama dan adat, dalam arti dapat menimbulkan rasa kecewa atau
permusuhan diantar salah satu golongan
b)
Tidak boleh
membicarakan politik yang bertentangan dengan politik pemerintah (penjajah)
c)
Tidak boleh
melanggar garis susila
v Daftar Buku-buku Terbitan Balai
Pustaka sampai Tahun 1941
Tahun Terbitan
|
Nama Buku
|
Pengarang
|
1920
|
Azab
dan Sengsara
|
Merari
Siregar
|
Muda
Taruna
|
Mohannad
Kasim
|
|
1926
|
Siti
Nurbaya
|
Marah
Rusli
|
Karam Dalam Gelombang Percintaan
|
Abdul
Ager dan Nursinah Iskandar
|
|
1927
|
Asmara
Jaya
|
Adi
Negoro
|
Pertemuan
|
Abbas
St. Pamuncak N. Sati
|
|
1928
|
Darah
Muda
|
Adi
Negoro
|
Salah
Pilih
|
Nur
Sutan Iskandar
|
|
Jeumpa
Aceh
|
H.M.
Zainuddin
|
|
Sengsara Membawa Nikmat
|
Tulis
Sutan Sati
|
|
Salah
Asuhan
|
Abdul
Muis
|
|
1929
|
Tak Putus Dirundung Malang
|
S.
Takdir Alisyahbana
|
Kasih
Tak Terlerai
|
Suman
Hs
|
|
Tak
Disangka
|
Tulis
Tutan Sati
|
|
1931
|
Madah
Kelana
|
Sanusi
Pane
|
Sabai
Nan Aluih
|
Tulis
Sutan Sati
|
|
Percobaan
Setia
|
Suman
Hs
|
|
1932
|
Narumalina
|
Or.
Mandank
|
Karena
Mertua
|
Nur
Sutan Sati
|
|
Sebabnya
Menjadi Hina
|
Ener
|
|
Kasih
Ibu
|
Paulus
Supit
|
|
Menebus
Dosa
|
Aman
Dt. Mojoindo
|
|
Memutuskan
Pertalian
|
Tulis
Sutan Sati
|
|
Tidak Membalas Guna
|
Tulis
Sutan Sati
|
|
Mencari Pencuri Anak Perawan
|
Suman
Hs
|
|
Rusmala Dewi
|
S.
Harjosumarto
|
|
Nasib
|
Habib St. Marajo
|
|
1933
|
Kalau Tak Untung
|
Selasih
|
Pertemuan Jodoh
|
Abdul Muis
|
|
1934
|
Pahlawan Minahas
|
M.R. Dayoh
|
Sebabnya Rafiah Tersesat
|
S. Harjosumarto
|
|
Si Cebol Rindukan Bulan
|
Aman Dt. Mojoindo
|
|
Hulubalang Raja
|
Nur Sutan Iskandar
|
|
1935
|
Katak Hendak Menjadi Lembu
|
Nur Sutan Iskandar
|
Dewi Rimba
|
M.D. Idris dan Sutan Iskandar
|
|
Perbuatan Dukun
|
Aman Dt. Mojoindo
|
|
Kehilangan Mestika
|
Hamidah
|
|
Sampaikan Salamku Kepadanya
|
Aman Dt. Mojoindo
|
|
Dia dan Aku
|
Moh-syah
|
|
Mencari Jodoh
|
A. Damhuri
|
|
Ni rawit ceti penjual orang
|
I Gusti Nyoman Panji Tisna
|
|
Sukreni Gadis Bali
|
I Gusti Nyoman Panji Tisna
|
|
Layar Terkembang
|
St. Takdir Alisyahbana
|
|
Pengaruh Keadaan
|
Selasih
|
|
Pembalasan
|
H.S.D. Munta
|
|
1937
|
Neraka Dunia
|
Nur Sutan Iskandar
|
Swasta setahun di bendahulu
|
I Gusti Nyoman Panji Tisna
|
|
Teman Duduk
|
Mohannad Kasim
|
|
1938
|
Di bawah lindungan kaabah
|
Hamka
|
Cincin Stempel
|
Ardin Soma
|
|
Pembalasannya
|
Saadah Alim
|
|
Karena Anak Kandung
|
M. Enri
|
|
1940
|
Dalam Lembah Kehidupan
|
Hamka
|
Putera Budiman
|
M. R. Dayoh
|
|
1941
|
Anak perawan disarang penyamun
|
S. Takdir Alisyahbana
|
Cinta dan Kewajiban
|
L. Wairata dan Nur sutan
|
|
Andang Teruna
|
Sutomo Jauhar Arifin
|
|
Taman Penghibur Hati
|
Saadah Alim
|
|
Kawan Bergelut
|
Suman Hs
|
|
Gadis Modern
|
Adlin Affandi
|
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Balai
Pustaka merupakan suatu angkatan dalam periodisasi sastra yang terkenal dengan
sebutan angkatan pembangkit karena lahir pada masa kebangkitan sastra Indonesia
yaitu pada periode tahun 1920 sampai tahun 1942. Namun Balai Pustaka juga
dikenal sebagai nama sebuah penerbit yang memang keberadaannya menunjang
penerbitan sastra-sastra pada masa itu. Melihat kenyataan tersebut maka
karakteristik yang membedakan sastra angkatan Balai Pustaka dengan sastra
angkatan lainnya adalah: karya-karyannya kebanyakan bertemakan kawin paksa,
memuat pertentangan paham antara kaum tua dengan kaum muda, unsur nasionalitas
yang terkandung dalam karya sastra belum jelasm, peristiwa yang diceritakan
hanya merupakan realitas kehidupan, analisis psikologi dalam karya sastra masih
kurang, karya-karya angkatan Balai Pustaka bersifat didaktis, bahasa yang
digunakan adalah bahasa melayu umum, serta yang paling membedakan sastra angkatan
Balai Pustaka dengan angkatan lainya yaitu genre asil karyanya berupa novel,
pantun dan syair.
Angkatan
Balai Pustaka bisa disebut masa dimana proses modernisasi karya-karya sastra
terjadi. Dimana tidak lagi terpaut oleh budaya-budaya melayu yang kental.
Balai
Pustaka merupakan suatu angkatan yang sangat berpengaruh kepada perkembangan
perpustakaan baru terutama yang tertulis dengan huruf latin (Usman, 1979: 15).
Hal itu tercermin dengan pindahnya pusat perhatian orang-orang yang berminat
kepada kesusastraan ke Balai Pustaka (Jakarta) yang berpengaruh pada
perkembangan bahasa dari bahasa melayu baru (yang banyak dipengaruhi oleh
bahasa-bahasa daerah dan bahasa surat kabar) kemudian menjelma menjadi bahasa
Indonesia.
Jadi,
dapat disimpulkan bahwa dengan munculnya angkatan Balai Pustaka maka telah
membuka hati para penulis untuk mau memperlihatkan hasil karyanya yang dulunya
menggunakan bahasa daerah kemudian beralih menggunakan bahasa Indonesia sebagai
ungkapan rasa bangga berbangsa Indonesia. Saelain itu, dengan munculnya
angkatan Balai Pustaka maka telah membuka semangat dan kesadaran para penulis
untuk mempersatukan daerah-daerahnya demi keutuhan bangsa Indonesia. Disisi
lain Balai Pustaka juga dikenal sebagai nama suatu penerbit besar yang berdiri pada
sekitar tahun 1920an yang pada tahun tersebut beriringan dengan munculnya
angkatan Balai Pustaka. Munculnya angkatan Balai Pustaka memang disesuaikan
dengan karya-karya besar yang terkenal pada waktu itu yang sebagian besar
diterbitkan dari penerbit Balai Pustaka Jakarta.
Berbicara
mengenai periodisasi sastra khususnya Balai Pustaka maka tidak menutup
kemungkinan kalau meninjau tentang keadaan sosial pada tahun 1920an, dimana
menurut Teeuw (1980: 15) pada tahun tersebut merupakan tahun lahirnya kesusastraan
Indonesia modern. Pada waktu itu para pemuda indonesia mulai menyatakan
perasaan dan ide yang berbeda dengan masyarakat setempat. Perasan itu
dituangkan dalam bentuk sastra namun menyimpang dari bentuk sastra melayu,
jawa, dan sastra-sastra lain sebelumnya.
Melihat
kenyataan tersebut, khususnya menyangkut tentang pengkajian masalah
karakteristik sastra angkatan Balai Pustaka sepengetahuan penulis belum pernah
dilakukan. Maka penulis ingin menganalisis dengan tujuan untuk mengetahui lebih
dalam tentang angkatan Balai Pustaka yang mencakup tokoh, karakteristik, dan
hasil karyanya.
3.1 Saran
Setelah mengkaji sejarah singkat Balai
Pustaka, kesusastraan periodisasi Balai Pustaka dan tokoh-tokoh serta hasil
karya-karya masa periodisasi Balai
Pustaka berdasarkan pertanyaan dalam
rumusan masalah. Hendaknya seorang pengkaji sastra dalam klarifikasi ilmu
sejarah sastra tidak hanya berfokus kepada sastrawannya saja, melainkan harus
mampu mengkategorikan bentuk sastra baru atau lama dengan melihat bentuk karya sastra
dalam hal ini bahasa, isi, amanat,dll. Dan pengkaji juga melihat ciri-ciri
semua periodisasi sastra. Karena setiap periodisasi kesusasteraan mempunyai
ciri-ciri, tokoh-tokoh, hasil-hasil karya, kemudahan dan kesusahan serta
tantangannya yang berbeda-beda dalam setiap periodisasinya. Maka
dari itu marilah kita untuk semakin menggali lagi apa itu sastra dan
karya-karyanya, jangan hanya sekedar mengetahui nama tanpa pengenalnya.
DAFTAR PUSTAKA
Yudiono K.S, Pengantar Sejarah Sastra Indonesia (PT.
Grasindo,2010),hlm,.74
Yudiono K.S, Pengantar Sejarah Sastra Indonesia (PT.
Grasindo,2010),hl,.24
Yudiono K.S, Pengantar Sejarah Sastra Indonesia (PT.
Grasindo,2010),hlm,.11
Yudiono K.S, Pengantar Sejarah Sastra Indonesia (PT.
Grasindo,2010),hlm,.26
Yudiono K.S, Pengantar Sejarah Sastra Indonesia (PT.
Grasindo,2010),hlm,.71
Tidak ada komentar:
Posting Komentar